Lantunan rewrite the stars milik James Arthur terdengar lewat earphone yang menyumpal kedua telinganya. Beriringan dengan motor milik bapak ojek online yang telah bergerak menjauh dari sekolah sejak lima menit yang lalu. Entah mengapa, walaupun gendang telinganya menghantarkan nada dan suara indah dari lagu tersebut, namun yang sampai di otaknya justru tentang percakapan mereka beberapa jam yang lalu.
"Gue penasaran deh, kira-kira background-nya dia tuh kayak gimana? Kok bisa gitu nggak masuk sekolah sama sekali." Marsha yang memulai. Percakapan seperti ini memang paling pas untuk mengisi jam kosong.
Freya menggeleng. "Nggak-nggak, gue lebih penasaran sama reaksi orang tuanya. Ortunya marah nggak sih anaknya nggak pernah masuk kek gitu?"
"Pengaruh lingkungan nggak sih?" "Lingkungan gue ancur tapi gue nggak gitu, tuh. Semuanya tergantung sama diri sendiri. Kalo dia-nya kek gitu, berarti emang dia-nya aja yang nggak mau survive." Jawaban terakhir yang diberikan oleh flora lah yang mengganggu pikirannya saat ini.
Semua teori yang dibuat oleh teman-temannya itu makin membuatnya penasaran tentang bagaimana kebenarannya. Dan semua jawaban dari segala pertanyaan tersebut hanyalah si objek pembicaraan yang tau, alias Adelia sendiri.
Azizi melemparkan tubuhnya ke atas kasur berukuran queen-size miliknya. Melepas semua rasa lelah setelah menempuh kurang lebih tiga puluh menit perjalanan di bawah teriknya matahari. Lama ia menutup kedua kelopak matanya, helaan napas berat ia keluarkan.
"Bisa nggak sih, zee, nggak usah mikirin itu lagi? Itu, kan, bukan urusan lo," ucapnya pada diri sendiri. Menyuruh otaknya untuk berhenti memikirkan kejadian hari ini.
Azizi beringsut duduk, hendak mengganti pakaiannya ketika sebuah ketukan terdengar dari depan pintu kamarnya.
"Della, ada telpon dari Bapak." Itu suara Uti. Pembantu di rumahnya yang sudah Azizi anggap sebagai neneknya sendiri.
Dengan segera, Azizi langsung membuka pintu dan berlari melewati Uti menuju ruang tengah. Bergegas agar yang berada diseberang, tidak menunggu terlalu lama. Kemudian ia mengambil telepon rumah yang tergeletak menunggu penerima sebenarnya.
"Halo, Pa?" Azizi diam menunggu balasan dari seberang sembari mengatur napasnya yang terengah.
"Halo, zee, Papa kira kamu belum pulang." Suara yang terakhir kali ia dengar tiga minggu yang lalu itu kini menyambut pendengaran.
Senyum kecil terpatri di wajahnya. "Iya, tadi ada rapat guru. Jadi pulangnya lebih cepet."
"Gimana? Kamu baik-baik aja? Nggak ada masalah, kan?" Pertanyaan yang biasa Papa berikan tiap kali mereka terpisah jauh. Entah dalam maupun luar negeri.
"Aman, Pa. Papa kalo mau telepon mending langsung ke nomorku aja. Nggak bakal ganggu kok."
"Iya, nanti Papa telepon langsung."
"Papa kapan pulang?"
"Maaf ya, Papa juga nggak tau. Ini proyeknya tinggal dikit lagi kok. Nanti kalau udah selesai, Papa langsung pulang." Azizi mencibir. Jari telunjuknya bergerak-gerak melingkar di atas meja. Sudah sebulan lebih Papa belum pulang. Apakah pria itu tidak merindukan rumahnya?
"Ya udah. Kalo gitu Papa cepet-cepet selesaiin, jangan telepon terus." Ucapannya itu dibalas dengan suara tawa dari seberang, membuat wajahnya makin menekuk.
"Iyaa, kalo gitu Papa matiin ya." Setelah ucapan perpisahan itu saling berbalas, Azizi meletakkan telepon tersebut dengan lemas. Mengira-ngira sampai kapan ia akan terus sendiri tiap malam di rumah ini.
Uti tidak bisa terus-terusan menemaninya 24/7. Wanita tua itu juga pasti memiliki urusan lain di rumahnya. Azizi tidak punya mama. Perempuan yang seharusnya menjadi sosok ibu baginya itu gagal bertahan ketika melahirkannya. Membuat ia harus menjalani hidup berdua. dengan Papa-ralat, maksudnya dengan Uti. Papa sendiri adalah seorang desainer interior yang memang sudah berpergian sejak menyelesaikan pendidikan lanjutannya. Dan nyatanya, memiliki keluarga kecil juga tidak membuatnya. berpaling dari pekerjaan favoritnya itu.
Melihat wajah anak majikannya lesu, Uti langsung paham apa yang terjadi dan tau apa yang harus dilakukan.
"Zee mau dibikinin apa?" Makanan adalah kunci dari segala masalah. Tak perlu berpikir terlalu lama, Azizi segera menjawab.
"Mau yang seger-seger. Yang kayak es-es gitu," jawab Azizi sembari berjalan mendekati Uti yang sudah berada di dapur. Selain untuk memperbaiki mood, ia juga butuh untuk mendinginkan tubuh.
Gadis berwajah kebarat-baratan itu mendudukkan dirinya di salah satu kursi meja makan. Kemudian memperhatikan wanita berumur lebih dari setengah abad tersebut yang mulai sibuk kesana kemari. Uti itu memang selalu ada untuknya, tau segala hal tentangnya. Bahkan kehadirannya bisa dibilang lebih berharga daripada nenek kandungnya sendiri.
"Uti kenapa masih kerja sama papa? Padahal umur segitu harusnya Uti udah nikmatin masa tua." Pertanyaan asal yang ia ungkapkan hanya untuk mengahalau sepi. namun juga bersemangat. Merasa lucu mendengar pertanyaan anak majikannya.
Terdengar suara tawa serak dan lemah, "Kalo ndak kerja, ya ndak dapat uang, Zee. Uti kerja karna ndak ada anak yang bantu biayain. Kakung juga lagi sakit-sakitan. Lagian kerja sama keluarga bapak itu ndak ada ruginya. Selama Uti kerja disini, Uti bahagia."
Azizi tersenyum manis. Senyum tulus yang mungkin selama ini hanya ia tunjukan pada Uti. Uti adalah orang rantauan dari Jawa Tengah bersama suaminya. Dulu kakek memperkerjakan mereka untuk membantu mengurusi papa yang bandelnya minta ampun. Namun akhir-akhir ini suami Uti-Kakung -sudah jarang terlihat karena sakit-sakitan. Sehingga yang bertahan hingga sekarang hanya Uti saja.
"Nah, udah jadi. Es timun buatan Uti," senyum lebar Uti merekah. Menambah kerutan di wajah dengan senyuman cerah.
ʕ'•ᴥ•'ʔʕ'•ᴥ•'ʔʕ'•ᴥ•'ʔʕ'•ᴥ•'ʔʕ'•ᴥ•'ʔ
Kaki itu terus berjalan melewati taman sambil mendengarkan musik pesawat kertas yang terdengar lewat earphone yang dipakainya.
Matanya tak sengaja melihat sosok itu namun, bukan sedang membagikan sebuah brosur tapi sosok itu sedang duduk di tepi sungai besar.Azizi tersenyum manis, haruskah dia menghampiri Adelia? Awalnya dia ragu tapi demi bu Feni dia akan melakukannya
"Haii" sapa Azizi
Adelia melihat heran ke arahnya. Lalu Azizi ikut duduk di sampingnya. "Lo kenal gue gak?" Tanya Azizi
"Azizi, ketua kelas" jawab Adel singkat
Azizi tersenyum mendengar jawabannya
"Gue mau tanya Del""Tanya apa?"
"Kenapa lo jarang masuk, kasian bu Feni dia terus terusan hubungin lo buat nanyain kenapa lo kayak gini"
"Mau jawaban singkat atau panjang?"
"Singkat dan jelas"
"Gue sibuk" setelah mengatakan itu Adel berdiri dan berjalan menjauh dari Azizi
"Del gue belum selesai bicara sama lo" teriak Azizi. Azizi terus mengejar Adelia sampai pada sebuah jembatan
"Apa mau lo" tanya Adel
"Gue mau ngajak lo sekolah, kasian Bu Feni
Del "Adelia tidak menjawab lalu langsung meninggalkan Azizi sendirian di jembatan itu
"Woy Adelia mau kemana Lo" teriak Azizi1058 Kata
Bantu vote ya cinta cintakuu🌷🌷 bantu sebar juga yaa
KAMU SEDANG MEMBACA
all we want [ZEEDEL]
Randomsemua yang gue mau, semua yang lo mau, dan semua yang kita mau gak ada di dunia ini. ~zee kalau gitu lo mau gak cari apa yang kita mau di dunia lain bareng gue. ~Adel gue bakal selalu ada untuk lo.~ zee janji?. ~Adel