Setelah pulang sekolah, Adel memang tidak langsung pulang ke rumahnya. Gadis bermata sayu itu kini selalu bersama Azizi dari gelap, hingga gelap lagi. Maka dari itu Adel juga selalu membawa baju ganti setiap hari, dan mengganti seragamnya di rumah Azizi.Ketika kakinya melangkah melewati pintu utama, alisnya mengerut mendapati sarapan yang ada di atas meja, masih dalam posisi yang sama dengan terakhir kali ia meletakkannya. Pasti Azizi belum makan sama sekali, begitu pikirnya.
Maka dengan cepat Adel segera naik ke lantai dua untuk pergi ke kamarnya. Ketukan pertama, tidak ada respon. Begitu juga dengan ketukan kedua dan ketiga. Apakah gadis itu masih tidur? Atau sedang mendengarkan musik sehingga tidak mendengar ketukannya? Merasa percuma karena lama berpikir, akhirnya Adel memutuskan untuk memutar knop pintu kamar Azizi perlahan.
Seperti yang ia lakukan pagi tadi ketika tak ada balasan apapun dan menemukan gadis bule itu tepar di atas kasurnya. Namun bukannya sedang berbaring, Adel justru menemukan Azizi yang sedang duduk di depan meja belajar, memunggunginya.
Decakkan kesal terdengar. Pintu yang sedari tadi hergerak perlahan pun, kini sudah terbuka lebar. Dengan nada marah, Adel mengomel sambil berjalan mendekat.
"Gue kan udah hilang, awas kalo megang buku. lo ngeyel banget si" Tubuh Adel seketika kaku ketika ia mendengar isakkan samar dari gadis di depannya.
"Zee?" Perlahan Adel memutar kursi Azizi untuk melihat wajahnya.
"... Nggak-bisa..., Adel...." Matanya sembab, hidungnya merah, bahkan rambutnya sudah tak karuan. Keadaan Azizi saat ini benar-benar sangat berantakan.
"Gue-nggak bisa...." Azizi terus menggumam hingga tersendat-sendat. Tanda kalau ia sudah menangis sejak tadi.
Pandangan Adel kini beralih pada buku gambar di atas meja. Terlihat banyak sekali bekas garis-garis hingga putihnya kertas tak lagi terlihat. Tanda bahwa kertas itu sudah dihapus berkali-kali, mungkin hingga ribuan kali. Lalu atensinya kembali pada Azizi.
Awalnya Adel bingung harus berbuat apa, lalu la teringat saat terakhir kali Azizi menangis di rumahnya kala itu. Dan Adel kembali melakukan hal yang sama. la menghapus pelan air mata Azizi dengan ibu jarinya. Lalu berucap pelan.
"Iya, nggak pa-pa."
Azizi mendongak untuk melihat wajah Adel. Lalu menggenggam erat seragam yang masih melekat di tubuhnya.
"Nggak pa pa kalo lo nggak bisa. Kan, ada gue. Lo bisa minta tolong gue." Dengan seketika kepala Azizi menghantam perut gadis di depannya, menenggelamkan wajahnya di sana.
Azizi sudah tidak bisa mengangis. Semua air matanya sudah habis untuk menangisi tugas brengsek itu. Tapi Adel selalu membuatnya ingin menangis. la jadi tidak tau harus berbuat apa.
"Lo nggak laper? Ayo makan," ajak Adel sambil menepuk-nepuk tangan Azizi yang masih menggelantung, menggenggam kemejanya begitu erat.
Gelengan kecil gadis itu berikan. Tidak mau bergerak dan ingin berlama-lama. Adel tidak suka laut, tapi aromanya seperti laut. Menenangkan. Lehernya yang terasa seperti akan patah karena terus menunduk selama berjam-jam, langsung kembali seperti semula. Seolah sakit itu tak pernah ada.
Perutnya yang sebelumnya terasa mual dan ingin muntah karena belum terisi apapun sejak pagi, seketika hilang dan mereda. Matanya yang panas dan perih hingga membuatnya menangis, lantas sembuh begitu saja.
"Ayo makan. Belajarnya nanti lagi. Lo nggak mau, kan, kalo besok nggak sekolah lagi?" Akhirnya dengan segala bujuk rayunya, Azizi menurut dan mengikuti Adel menuju meja makan.
"Hari ini wortelnya gue bikin jadi oseng-oseng. Terus tadi di kulkas ada buncis juga, jadi gue tambahin aja," jelas Adel seperti sedang presentasi makanan di depan. juri chef.
KAMU SEDANG MEMBACA
all we want [ZEEDEL]
Randomsemua yang gue mau, semua yang lo mau, dan semua yang kita mau gak ada di dunia ini. ~zee kalau gitu lo mau gak cari apa yang kita mau di dunia lain bareng gue. ~Adel gue bakal selalu ada untuk lo.~ zee janji?. ~Adel