bab 15

611 77 7
                                    


Freya!!! Ya, gadis itulah yang bersama Dikta, ayah dari Adel.

Sebelumnya, Azizi sungguh tidak sadar dengan semua foto yang Adel berikan padanya. Demi apapun Azizi tidak tau.

Lagi pula ia tidak mungkin mengingat wajah orang tua temannya satu persatu. Sekalipun itu orang tua teman terdekatnya. Ia juga jarang sekali bertemu dengan Papa Freya. Bahkan bisa dihitung jari berapa kali mereka bertemu. Mungkin baru dua atau tiga kali?

Azizi bukan berniat mempermainkan Adel atau apapun. Salahkan saja pada wajah pria bernama Dikta itu yang terlihat lebih tua dari foto yang ada.

Semua benang merah yang sebelumnya transparan di mata Azizi, kini terlihat jelas dan mampu ia sambungkan satu persatu.

Dikta Pramoedya.

Ayah Adel.

Adelia Radela. P-Pramoedya.

Foto lima tahun lalu di Bengkel Prismatama, itu adalah bengkel milik keluarganya. Alasan mengapa bapak pekerja di bengkel itu bertanya apa urusan Azizi ketika ia menanyakan tentang Pak Dikta, adalah karena Pak Dikta itu sendiri merupakan bos mereka.

Suatu hal janggal jika ada yang menanyakan tentang si bos. Dan anak dari "selingkuhan" Pak Dikta, yang tidak lain tidak bukan adalah saudara tiri Adel, Freya.

Freyana Shifa Pramoedya.

Bagaimana bisa Azizi tidak melihat sesuatu yang begitu jelas di matanya?

"Adel!" Dengan cepat Azizi menarik lengan Adel agar gadis itu mau berhenti.

Tepat setelah semua rangkaian teka-teki itu terpecahkan, Adel tiba-tiba langsung pergi begitu saja. Meninggalkan Azizi dengan segala kepanikannya. Napas Azizi tercekat ketika Adel menoleh ke arahnya.

"... Nggak adil, Zee...." gadis bermata sayu itu mulai meracau dengan suara bergetar.

Azizi menelan ludahnya kasar. Ini pertama kalinya ia melihat Adel begitu terguncang.

"Harusnya dia juga nggak bahagia." Adel menekankan tiap kata dalam kalimatnya.

Nada suaranya begitu tenang, tapi matanya memerah dan mulai berair. Kentara jika sedang menahan emosi yang bergejolak hebat dalam hatinya. Tangannya mencengkram lengan seragam Azizi kuat. Bibirnya bergetar, napasnya mulai tak beraturan.

"Dia yang bikin ibu nggak bahagia. Dia yang bikin ibu menderita. Dia juga yang bikin ibu pergi, Zee. Harusnya dia juga nggak bahagia ...." Sakit.

Rasanya tenggorokan Adel sangat sakit, seperti sedang ditusuk-tusuk oleh pisau. Panas, perih. Matanya menatap Azizi nanar.

"Nggak adil, Azizi...," gumamnya lirih.

Azizi berusaha keras mengendalikan diri agar tidak ikut hanyut. Berusaha menggapai Adel agar tak tenggelam dan kehilangan dirinya sendiri. Bibirnya terasa kelu. Dadanya berdenyut nyeri melihat gadis di hadapannya begitu hancur.

Adel yang biasanya terlihat datar, bahkan ketika menceritakan tentang ibunya, kini tengah berusaha setengah mati untuk menahan diri. Menahan semua rasa frustasi, marah, kesal, muak, dan semuanya.

Azizi tidak bisa melihatnya. Ia tidak bisa melihat Adel yang seperti ini. Dengan cepat, tangannya mendekap gadis itu erat. Lalu menggumam pelan.

"Dunia emang tempatnya nggak adil, Del." Tak peduli bagaimana tatapan orang, Azizi hanya berharap gadis yang ada di dekapannya ini bisa merasa tenang.

Tangannya mengusap punggung Adel lembut, menepuk-nepuknya pelan. Bahkan dalam pelukannya pun, Azizi bisa merasakan betapa cepatnya jantung Adel berdetak. Gadis berambut pendek tersebut menenggelamkan wajahnya di bahu Azizi. Menyembunyikan rasa putus asanya dari dunia.

all we want  [ZEEDEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang