"Maaf gue malah ngerepotin lo," ucap Azizi dengan suara parau. Tau jika gadis di depannya ini tengah kewalahan karena dirinya. Sudah dibantu mengobati luka, malah merepotkan seperti ini.
Adel menatapnya dalam-dalam lalu menggeleng, tidak setuju dengan ucapan Azizi. Walaupun memang benar sedikit, tapi tidak apa-apa.
"Zee, mungkin gue emang nggak ngerti apa yang lo rasain. Tapi gue usahain buat selalu bisa diandelin kalo lo butuh." Manik kelam itu, walaupun tajam, tapi Azizi bisa merasakan kehangatan di sana.
Persis seperti apa yang ia lihat ketika di jembatan beberapa hari yang lalu. Azizi mengulum bibirnya erat, tidak mau jika tangisnya pecah sekali lagi hanya karena gadis bermata sipit ini. la benar-benar ingin memeluknya sekarang juga.
Perasaan ini, seperti lava panas yang bisa menyembur keluar kapan saja dengan letusan yang maha dasyat. Bahkan letusan Gunung Tambora pun kalah. Lama mereka saling bertukar pandang, Adel menjadi orang pertama yang memutus kontak mata. Mengalihkan atensinya pada jam dinding.
"Udah jam sembilan. Besok lo sekolah, kan? Ayo gue anter." Mata Azizi mengikuti pergerakan Adel yang bangkit untuk merapikan obat-obatan dan mengambil jaket di kamarnya.
Entah mengapa, tubuh Azizi seketika terasa berat. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Membuat rasa nyaman yang sempat hinggap tadi, hilang seketika.
"Nggak mau pulang," gumamnya pelan
"Ha?"
"Gue nggak mau pulang," cicit Azizi.
"Kalo lo nggak mau pulang terus mau kemana?" Azizi diam, tidak menjawab.
Sedikit frustasi karena Adel tidak paham dengan apa yang ia maksud. Azizi tidak mau pulang.
Rumah itu terlalu sepi.
Rumah itu terlalu tenang.
Azizi tidak suka.
Azizi takut sendirian.
Azizi ingin di sini.
Tiba-tiba saja sebuah selimut tipis berwarna senada dengan jaketnya, melilit tubuhnya. Membuat kepala itu otomatis mendongak untuk melihat apa yang sedang terjadi, dan mendapati Adel yang tengah duduk manis di depannya.
"Besok pagi gue anterin." Seperti bunga yang kembali tersenyum kecil.
Tapi sayangnya Adel tidak bisa melihat karena Azizi menutupinya dengan selimut. merekah, Adel yang merasa lelah duduk tanpa sandaran, akhirnya berpindah tempat di samping Azizi. Sekedar ikut mengistirahatkan punggung di dinding putih rumahnya.
Tadinya Adel tidak mengerti apa yang Azizi maksud. Namun setelah teringat kala ia melakukan kerja kelompok di rumahnya, Azizi langsung paham.
Pasti Azizi sedang ketakutan, itulah alasannya menangis dan tidak mau pulang. Jadi ia biarkan saja gadis bule itu menetap di sini selama semalam.
"Adel," panggil Azizi pelan dan hanya disahuti dehaman singkat oleh si pemilik nama.
"Kenapa lo nggak sekolah?" Padahal kita bisa berangkat bareng.
Mengingat rumah mereka yang searah menuju sekolah. Bukankah menyenangkan jika mereka bisa berangkat dan pulang bersama? Mereka bisa berbincang sepuasnya, tanpa harus menunggu malam, apalagi jika ada papa.
Adel bergeming. Sedang memikirkan kata-kata yang pas untuk diutarakan.
"Karna gue harus kerja." Tidak ada uang, tidak bisa hidup.
Azizi tidak paham. Jika gadis itu lebih memfokuskan dirinya dengan bekerja, mengapa ia masih nekat untuk bersekolah?
"Terus alasan lo tetep sekolah?" Tidak ada jawaban dari Adel, Azizi yang penasaran melihat ke arah Adel yang sedang menunduk sambil memilin ujung bajunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
all we want [ZEEDEL]
Randomsemua yang gue mau, semua yang lo mau, dan semua yang kita mau gak ada di dunia ini. ~zee kalau gitu lo mau gak cari apa yang kita mau di dunia lain bareng gue. ~Adel gue bakal selalu ada untuk lo.~ zee janji?. ~Adel