"Freya yang nemuin kamu." Pria yang memiliki fitur wajah mirip seperti Adel itu berdiri di ujung brankar sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana kainnya.
Ketika gadis bertubuh tinggi dengan bibir tipis itu hendak masuk ke dalam kantor papa, ia lebih dulu melihat ke arah kerumunan yang berada tak jauh dari sana.
Dan ketika ia mendapati apa dan siapa yang mereka kerumuni, gadis tersebut langsung menolongnya dengan meminta bantuan papanya.
Freya? Apakah itu berarti gadis bertubuh tinggi itu tau jika mereka saudara tiri?
Seolah tau apa yang Adel pikirkan, pria yang ia kenal sebagai ayah itu bersuara lagi.
"Freya nggak tau. Yang dia tau, kamu cuman sebatas teman sekelasnya."
Adel masih bungkam. Pasti pria itu tidak akan membiarkan Freya tau apapun tentang keluarga Ayah yang sebelumnya.
Lalu apa tujuan orang ini berdiri di sini?
Menunjukkan bahwa dia adalah ayahnya? Memperlihatkan bahwa ia masih memiliki sosok ayah? Begitu? Helaan napas berat keluar dari mulut Ayah.
Garis mata sayu itu menatap tajam dan datar. Wajahnya kaku, bibirnya tertutup rapat tanpa ada sedikit pun lengkungan. Persis seperti yang biasa Adel lakukan.
"Saya tau, kamu yang letakkan foto itu, kan?" Tak peduli bagaimana pertanyaannya, Adel tetap bungkam. Menutup mulutnya rapat, seperti orang bisu.
Lagipula tidak perlu diberi jawaban pun, Ayah pasti sudah tau. Karena hanya Adel satu-satunya yang memiliki foto itu.
Pria dengan kemeja cokelat dan celana kain berwarna hitam tersebut melangkah mendekat sembari merogoh sakunya. Lalu menyodorkan sebuah amplop cokelat pada Adel.
"Saya minta, tolong jangan ganggu keluarga saya. Saya mohon." Bahkan pria itu sampai memohon.
Sebegitu mengganggunya kah dirinya? Kemudian Ayah meletakkannya digenggaman Adel karena terlalu lama dianggurkan. Memastikan uang pemberiannya itu berada di tangannya.
"Anggap itu sebagai permintaan maaf saya karna sudah menelantarkan kamu." Setelah itu Ayah mundur, mengambil jaket yang tersampir di kursi besuk dan memakainya sambil berkata,
"Biaya rumah sakitnya tidak perlu diganti. Jadi tidak perlu menghubungi saya." Tangan kasar dan berurat itu menepuk bahu Adel pelan. Lalu melengos pergi begitu saja. Tanpa ada maaf yang tulus. Sekedar senyum pun tidak.
Padahal walaupun rasa benci itu lebih mendominasi-jauh di dalam lubuk hatinya, ada setitik kecil harapan seorang anak yang ingin merasakan bagaimana rasanya melihat senyum orang tuanya.
Adel juga ingin melihat senyum yang Ayah tunjukkan pada Freya hari itu. Namun nyatanya pria tersebut justru memilih untuk meninggalkan dirinya yang masih terduduk di atas brankar rumah sakit. Sendirian, tanpa seorang pun.
Rahangnya mengencang, tangannya meremas amplop cokelat itu hingga tak berbentuk. Mata sipitnya mulai berair karena rasa marah. Ingin mengeluarkan sumpah serapah tapi lagi-lagi la pendam.
Adel menghirup napas dalam-dalam, berusaha memenuhi tiap rongga yang ada di dalam paru-parunya dengan oksigen. Ingin menghilangkan tekanan yang membebani dadanya namun tetap tidak berhasil. Lagi-lagi sakit itu. Sakit yang tidak berwujud. Sakit yang tidak berbentuk. Sakit yang tidak juga bisa langsung hilang begitu saja.
Tapi mau tidak mau, Adel harus menahannya untuk sekarang. Sampai ia menemukan obatnya, Sampai ia menemukan Azizi.
Bulu matanya menunduk, menatap telapak tangannya yang memerah karena terlalu kuat meremas amplop cokelat itu. Tiba-tiba saja, sebuah tangan berwarna. oranye kekuningan terulur dan menggenggam tangannya. Seolah berusaha menyembuhkan rasa panas yang ditimbulkan dari aksinya barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
all we want [ZEEDEL]
Randomsemua yang gue mau, semua yang lo mau, dan semua yang kita mau gak ada di dunia ini. ~zee kalau gitu lo mau gak cari apa yang kita mau di dunia lain bareng gue. ~Adel gue bakal selalu ada untuk lo.~ zee janji?. ~Adel