Daburan ombak, dedaunan yang bergesekan terkena angin, suara burung yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain.Semuanya terasa sempurna.
Sangat sempurna.
Selama ini Azizi selalu ingin menjadi laut. Menghampiri tiap-tiap daratan dan memberi ketenangan. Terlihat indah dan berkilauan di permukaan, menyembunyikan semua ketakutan di dalam.
Luas dan tak terhingga.
Dalam dan tak terjamah.
Ia menghirup udara segar itu dengan tenang. Sepi. Suasana pantai tidak seramai biasanya. Mungkin karena orang-orang masih sibuk dengan urusan sekolah atau pekerjaan. Azizi tidak peduli. Yang terpenting ia bisa menikmati pantai ini untuk dirinya seorang.
Walaupun masih ada dua, tiga orang dibawah sana. Matanya terpejam, menikmati angin yang berhembus kencang di ujung bukit. Bertumpu pada pagar-pagar yang terbuat dari bambu.
Membiarkan wajahnya diterpa anak rambunya yang berterbangan. Senyumnya terbit, seolah ikut menghantarkan kepergian sang matahari dengan suka cita.
Setelah hampir sebulan menunggu, akhirnya Azizi bisa merasakan, bagaimana rasanya berdiri di atas bukit ini. Dari sini, ia bisa melihat laut yang tak berujung.
Terlihat seperti bersatu dengan langit tapi kenyataannya tidak. Ada ribuan kilometer yang memisahkan mereka. Seperti dirinya dan papa. Entah mengapa, dadanya tidak sesakit tadi.
Semua sesak yang ia rasa telah mereda.
Azizi bahkan bisa bernapas dengan begitu mudah, seolah tak ada lagi beban yang menghantamnya. Jujur saja, ketika ia melihat mading, hanya ada dua perasaan yang datang.
Perasaan senang, dan takut.
Senang karena Adel berhasil, tapi juga takut dengan reaksi papa.
Selain itu, Azizi juga takut dengan reaksi apa yang akan ia dapat dari teman-temannya. Makanya Azizi sempat berkeringat dingin. Tapi setelah ia mencoba menerima semua, mengeluarkan semua yang selama ini terpendam, Azizi merasa dirinya telah bebas dan bisa mengepakkan sayapnya untuk pertama kali.
Apakah ia benar-benar telah menerima semua?
Apakah ia bisa hidup normal mulai sekarang?
Apakah ia bisa menikmati tiap waktunya tanpa rasa takut lagi?
Azizi tersenyum. Memperlihatkan pada dunia bahwa ia sudah bahagia.
Walaupun Azizi kehilangan semua yang sudah susah payah ia pertahankan, tapi Azizi masih punya satu yang tersisa.
Satu yang menjadi segalanya.
Satu yang menjadi satu-satunya.
Satu yang sempurna dengan semua lukanya.
Satu yang membawa bahagia.
Satu yang bernama Adel.
Manusia yang penuh dengan rasa sakit. Manusia yang kaku. Manusia yang bukan perasa. Manusia yang datar. Manusia yang penuh dengan kehangatan. Manusia yang sulit dipahami. Manusia yang lembut. Manusia yang selalu membuatnya nyaman. Manusia yang selalu pura-pura kuat. Manusia yang tidak pernah menangis. Manusia yang paling istimewa untuknya.
Untuk Azizi. Kali ini, tolong biarkan Azizi menjadi egois. Menginginkan hal tabu yang akan selalu salah di mata semua manusia. Menginginkan seseorang yang tidak ditakdirkan untuknya.
Andai dunia juga tidak punya norma, mungkin ada satu keinginannya yang akan terlaksana.
Azizi meremat bambu yang beralih fungsi menjadi pagar itu. Merasakan satu tetesan membasahi punggung tangannya. Namun ketika tetesan itu semakin menjadi, Azizi langsung menunduk dan mendapati tangannya yang sudah dilapisi cairan merah yang kental.
KAMU SEDANG MEMBACA
all we want [ZEEDEL]
Randomsemua yang gue mau, semua yang lo mau, dan semua yang kita mau gak ada di dunia ini. ~zee kalau gitu lo mau gak cari apa yang kita mau di dunia lain bareng gue. ~Adel gue bakal selalu ada untuk lo.~ zee janji?. ~Adel