bab 8

785 88 2
                                    

"Papa berangkat sekarang?" Tanya Azizi dengan alis bertaut. Padahal Pria paruh baya itu berkata akan berangkat nanti malam. Papa menoleh ke asal suara. Lalu tersenyum lembut.

"Oh, nggak. Papa berangkat nanti jam 7-an." Pria dengan kemeja biru gelap dan celana kain itu merentangkan tangannya, masih dengan senyum lembut yang membuat Azizi seketika menghambur ke pelukan Papa.

"Papa usahain nggak akan lama," ucapnya sambil mengusap surai hitam yang bergelombang milik Azizi dengan sayang.

"Kamu di rumah jangan aneh-aneh. Jangan nakal. Papa nggak bisa tiba-tiba balik, soalnya tiketnya mahal." 

"Emang aku pernah nakal? Papa aja bangga-banggain aku tiap kumpul keluarga."

"Kamu tau darimana?" Dengan senyum simpul, Azizi mengedikkan bahunya tak tau.

"Oh iya! Uti izinnya sampai kapan, Pa?" tanya Azizi penasaran.

Tiba-tiba saja ketika Papa hendak menjawab, suara toa yang berasal dari masjid kompleks terdengar. Padahal Azizi tau, saat ini bukan waktu maghrib, apalagi ashar yang sudah terlewat dua jam lalu.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. Innalilahi wa innailaihi rojiun. Telah meninggal Bu Surati RW 5 RT 3. Dimohon bapak-bapak, ibu-ibu segera berkumpul di rumah duka, di Gang Matahari."

Waktu seolah berhenti bergerak ketika dapat dengan jelas Azizi dengarkan pengumuman itu untuk kedua kalinya. Membuat dadanya seketika mencelos. Seperti ada hentakan keras di dadanya hingga terasa kosong.

Bahkan Papa-pria dengan kemeja biru tua yang telah rapi itu langsung melesat keluar dari rumah tanpa sepatah katapun. Meninggalkan Azizi yang masih geming, mencerna apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdegup cepat, tangannya bergetar, kakinya melemas.

Tanpa ba bi bu, Azizi ikut menyusul Papa secepat mungkin. Menghiraukan kasarnya aspal jalanan untuk cepat-cepat sampai ke tempat tujuan. Dalam hati Azizi terus berdoa. Sekali lagi berharap jika apa yang ia pikirkan salah.

Berharap setelah sampai di sana, ia menemukan uti yang tengah duduk sendirian dan termenung.

Berharap ia bisa menyampaikan kalimat penenang dan menemani uti. Bukannya pergi ke sekolah atau kemanapun itu. Berharap ia masih bisa menanyakan hal-hal tidak penting pada uti. Meminta nasihat kepada wanita tua tersebut seperti yang biasa ia lakukan.

Telapak kakinya terasa panas ketika ia berhenti di ujung gang. Berdiri kaku setelah melihat sebuah bendera kuning terpasang di depan rumah uti. Kursi-kursi plastik ditata sedemikian rupa di halaman rumah. Para tetangga mulai berdatangan, membantu proses pemandian hingga pemakaman.

Uti. Uti dimana? Azizi celingukan seperti orang gila. Mencari keberadaan uti yang seharusnya saat ini tengah duduk di ujung dengan wajah sendu. Sesaat kemudian, Papa muncul dengan pakaiannya yang mulai berantakan. Mungkin karena tadi Papa tiba-tiba berlari seperti dirinya, membuat keringat ikut bercucuran di dahi. Sekali lagi, Papa langsung memeluk Azizi erat. Bahkan lebih erat dari pelukan biasanya.

"Zee, uti meninggal" ucap papanya sambil menahan tangisnya.

Seketika jantungnya seakan berhenti berdetak, kenapa? Kenapa yang sangat ia takutkan malah terjadi secepat ini? Apa semesta sedang bercanda padanya?



               ʕ⁠´⁠•⁠ᴥ⁠•⁠'⁠ʔʕ⁠´⁠•⁠ᴥ⁠•⁠'⁠ʔʕ⁠´⁠•⁠ᴥ⁠•⁠'⁠ʔʕ⁠´⁠•⁠ᴥ⁠•⁠'⁠ʔ


Dengan langkah gontai, Azizi berjalan kembali masuk ke dalam rumah. Rumah yang kembali sepi, dingin, dan tenang. Azizi tidak suka. Ia benci dengan ketenangan ini. Membuatnya merasa seperti orang yang paling menyedihkan yang pernah ada. Satu hirupan panjang membuat paru-parunya dipenuhi oleh oksigen. Membuat sesak itu ikut menghilang walaupun hanya sementara.

Matanya memang tidak bengkak, wajahnya memang tidak basah. Tetapi jauh di dalam sana, Azizi sedang berusaha mati-matian menahan bendungan perasaannya dengan sekuat tenaga. Azizi langsung mendongak menatap langit-langit rumah ketika cairan bening mulai memenuhi pelupuk matanya.

Tidak. Ia tidak boleh menangis.

Jika uti melihatnya, uti akan bersedih. Dengan cepat ia menyeka air matanya kasar, lalu memutuskan untuk keluar dari rumah. Berada di rumah itu, hanya akan menenggelamkannya semakin dalam. Azizi mungkin pandai berenang, tapi ia juga bisa mati ditelan lautnya yang hitam. Persetan dengan langit yang telah menggelap. Azizi sedang tidak mau peduli pada peringatan papa. Ia hanya ingin meredakan semua perasaan yang bergemuruh di dada. Menahan semua sebelum lepas kendali dan membuatnya menjadi orang gila.

Dengan jaket abunya, Azizi melangkah menyusuri jalanan. Tanpa arah, tidak tau kemana dan tidak mau tau. Suara-suara kendaraan bermotor yang bising berhasil mengalihkan pikirannya. Hembusan angin yang dibawa pun, mampu membuat Azizi sedikit merasa lebih baik.

Ya, sedikit.

Jauh di dalam sana, ada secuil dirinya yang masih tidak terima dengan kepergian uti. Meronta-ronta hingga membuatnya kewalahan. Mungkin uti memang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Namun yang orang-orang tidak tau, Azizi dan uti memiliki hubungan emosional yang erat bak nenek dan cucu kandung.

Uti itu bisa melakukan segalanya. Berperan sebagai nenek, sebagai ibu, sebagai teman- bahkan terkadang jika papa sedang bekerja dalam waktu yang lama, uti bisa berperan sebagai sosok papa juga untuknya. Sehingga kabar kematian uti kemarin, sudah cukup untuk membuat Azizi linglung tak karuan.

"Akh-Aw!" Azizi mengaduh ketika kakinya tidak sengaja menendang sebuah batu besar. Membuat semua inderanya kembali tersadar.

Hah.... Bahkan trotoar jalan pun tidak membiarkannya tenggelam dengan tenang. Azizi menunduk untuk mengecek keadaan kakinya. Tak disangka, ternyata hantaman itu mampu membuat kulit di jari kelingkingnya terkelupas hingga mengeluarkan cairan merah pekat.

Dasar batu sialan! Karena ia sendiri tidak punya apapun untuk mengobati lukanya, jadi Azizi biarkan saja. Nanti juga kering sendiri, begitu pikirnya.

Lalu ketika ia berdiri untuk kembali melanjutkan renungan malamnya, Azizi memekik, dibuat terkejut bukan main saat mendapati seseorang tengah diam berdiri satu meter di depannya. Wajahnya, tatapannya, dan bagaimana gadis itu berdiri, sangat-sangat datar. Sebelas duabelas dengan hantu jembatan yang biasa muncul di film-film. Terlebih lagi malam-malam di jembatan, semakin menambah kesan horornya.

"Lo?! Ngapain berdiri di situ?!!"

Adel menaikkan sebelah alisnya, bingung. Pertanyaan macam apa itu? Ia berdiri karena memang ingin berdiri. Apakah salah? Lagipula jembatan ini untuk umum. Siapapun berhak untuk berdiri di sini.

Gadis bermata sayu itu tidak menjawab. Ia justru berjalan mendekat ke arah Azizi setelah mendapati kakinya telah diselimuti darah.

"Bisa jalan nggak?" Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat Azizi menjadi kebingungan sendiri.

"Hah?"

"Lo, bisa jalan nggak?"

"Sedikit"

Dengan cepat Adel meraih tangan Azizi dan menggenggamnya.

"Ayo."

Azizi masih plonga-plongo tidak jelas. Tidak tau apa yang sedang Adel lakukan.

"Hah? Ayo kemana?"

"Ke rumah gue."








Aku tunggu 30 vote yaa, baru aku up
Byee cinta cintakuu 🌷🌷

all we want  [ZEEDEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang