"Tujuan anda ada di sebelah kiri."Azizi segera mematikan ponselnya dan celingukan. Mencari keberadaan bengkel yang mereka tuju."Itu nggak sih?" Jari telunjuknya mengarah lurus pada sebuah papan nama yang bertuliskan "Bengkel Prismatama".
Seiring dengan kakinya yang terus melangkah, jantung Adel dibuat berdegup makin kencang. Tangan Adel yang masih senantiasa Azizi genggam itu mulai basah karena gugup.
"Permisi. Pak, maaf ganggu waktunya. Saya boleh nanya?" Bapak-bapak dengan seragam biru yang tengah mengecat sesuatu itu, segera berdiri dan mempersilahkan Azizi untuk bertanya.
"Di sini ada yang namanya Dikta? Dikta Pramoedya." Diam-diam Azizi ikut merasa gugup. Takut jika ternyata apa yang ia kira selama ini salah. Takut mengecewakan Adel.
Namun seketika gadis berwajah kebarat-baratan itu bernapas lega saat bapak tersebut mengangguk.
"Ada, Mbak. Tapi lagi nggak di sini." Azizi ber-oh ria. Lalu kembali bertanya.
"Kalo boleh tau orangnya dimana ya? Mmm... Oh! Rumahnya aja, Pak. Bapak tau rumahnya?" Bukankah lebih mudah jika mereka tau alamatnya? Jika di tempat kerja tidak ada, pasti ada di rumahnya.
"Ohh kalo rumahnya sih kayaknya ada di Pondok Harmoni. Emang ada urusan apa ya, Mbak?" Ditanya seperti itu, Azizi jadi tidak tau harus menjawab apa. Tidak mungkin, kan ia mengatakan "anak kandungnya mau ketemu, pak." Bisa-bisa Adel akan memakannya hidup-hidup.
"N-nggak pa-pa, Pak. Makasih." Azizi mengangguk ramah, lalu mengajak Adel untuk segera pergi dari sana.
Setelah memastika mereka telah jauh dari area bengkel, Azizi berdecak kesal.
"Nggak bisa nanya lebih lengkap. Nanti orangnya curiga."
Adel yang sedari tadi diam, langsung menahan Azizi ketika gadis itu mengajaknya untuk ke tempat yang bapak tadi maksud. Pondok Harmoni. Mengundang tatapan bingung dari Azizi.
"Udah. Sampe sini aja," ucap Adel, namun matanya menunduk. Seolah tau apa yang Adel pikirkan, gadis yang lebih tua itu mencoba untuk menatapnya.
"Lo capek? Lo nyerah? Atau lo ngerasa nggak enak sama gue?"
"Kalo dua alasan yang awal, gue ikutin pilihan lo. Tapi kalo alasannya yang terakhir, gue sama sekali nggak keberatan." Kini gadis itu juga menggenggam tangan yang satunya.
"Liat gue."
Adel perlahan mendongak hingga netra mereka bertemu. Azizi berusaha menunjukkan kesungguhannya kali ini.
"Lo selalu ada buat gue. Jadi gue juga pengin selalu ada buat lo, Del." Entah sudah yang keberapa kali Adel merasakan sesuatu yang aneh karena Azizi, Sepertinya gadis ini mempunyai sihir kuat yang mampu membuat Adel tergila-gila padanya.
Adel sendiri tidak paham bagaimana hal itu bekerja. Namun yang ia tau saat ini hanyalah dirinya yang tidak mau jika Azizi melepas genggaman di tangannya. Merasa genggamannya mengerat, Azizi tersenyum lalu segera mengajak Adel untuk melanjutkan perburuan mereka.
Mencari target bernama Dikta Pramoedya. Sebenarnya tujuan yang dimaksud memang tidak terlalu jauh dari tempat mereka berdiri tadi. Tapi karena mereka hanya bermodalkan kaki dan google maps, rasa haus itu pun tak dapat dihindarkan lagi.
"Mang, es degan dua ya," ucap Azizi pada mamang pemilik gerobak es degan sebelum mendudukkan dirinya di kursi plastik. Mendinginkan diri di bawah pohon mangga milik orang.
Beruntung Azizi bisa bertemu dengan mamang es degan langganannya tiap kali Azizi ke rumah Freya. Jadi mereka bisa beristirahat sejenak dan membasahi kembali kerongkongan mereka yang kering kerontang. Di sampingnya.
Adel sibuk mengubek-ubek tasnya untuk mengambil sebuah buku tulis. Dengan begitu, buku tulis tersebut kini beralih fungsi menjadi kipas angin.
"Mau juga." Adel segera memiringkan kipasan anginnya sehingga Azizi bisa ikut merasakan embusan angin buatannya.
"Capek banget ya, Teh?" Azizi hanya mengangguk sebagai balasan. Sedang malas mengeluarkan tenaga barang sepersen pun.
"Emang habis ngapain, Teh? Kok sampe keringetan gitu," tanya Mamang es degan. itu lagi. Tidak bisakah Mamang ini fokus meracik es degan pesanannya saja?
"Habis nyari orang, Mang," jawab Azizi seadanya.
"Ngapain dicari, Teh? Kenapa nggak kirim sms aja?"
Haduh banyak nanya banget! Masih mencoba ramah. Azizi mengambil napas dalam-dalam, menahan rasa kesal.
"Ada urusan pokoknya." Mamang tersebut ber oh-ria. Lalu menyodorkan dua gelas es degan ke arah mereka.
"Udah ketemu belum, Teh?" Dengan senyum paksa, Azizi mencincang daging kelapanya menggunakan sendok dengan brutal.
"Mamang kalo nanya lagi, saya suruh bantu nyari loh." Laki-laki berumur sekitar kepala dua itu terlihat berpikir. Azizi jadi heran, apa sih yang orang ini pikirkan?
"Boleh, Teh. Saya lagi gabut juga nggak ada pembeli."
Lah?
"Emang mau nyari siapa?" Merasa ada kesempatan memanfaatkan, Azizi dengan cepat mengoper gelas miliknya pada Adel, lalu menunjukkan foto yang ia tangkap layar dari Facebook ke arah Mamang.
"Nyari orang ini." Mata laki-laki yang diduga campuran Sunda itu menyipit, lalu diam sejenak tanpa menoleh ke arah lain.
"Ini mirip Pak Dikta ya," celetuknya. Seketika tubuh mereka berdua kaku. Bahkan , Adel yang hendak melahap daging kelapanya pun ikut berhenti mendadak.
"Mamang kenal?"
"Ya kenal atuh. Pak Dikta yang di Gang Flamboyan. Bukannya anaknya Pak Dikta, temennya Teteh, ya?"
Azizi diam. Adel diam. Mamang juga diam. Mereka sama-sama diam sebelum tiba-tiba saja teriakkan Mamang mengejutkan mereka berdua hingga berjingkat.
"HA! Itu Pak Dikta!" Mereka berdua kompak langsung menoleh ke arah yang Mamang tunjuk.
Kemudian rasa terkejut itu bertambah lagi ketika seorang pria turun dari mobil sambil tertawa bersama sang anak.
Yang ternyata anaknya adalah teman sekelas mereka sendiri yaitu........
Tebak-tebakan seru juga nihh
Menurut kalian siapa??
Flora?
Freya?
Marsha?
Atau Azizi?Tebak sesuai kepercayaan masing-masing☺️☺️
KAMU SEDANG MEMBACA
all we want [ZEEDEL]
Randomsemua yang gue mau, semua yang lo mau, dan semua yang kita mau gak ada di dunia ini. ~zee kalau gitu lo mau gak cari apa yang kita mau di dunia lain bareng gue. ~Adel gue bakal selalu ada untuk lo.~ zee janji?. ~Adel