chapter 27 : Peduli

137 11 1
                                    

Happy reading ^^

Apakah Madara memutuskan untuk membunuh Kiyomi?

Tidak.
Dia sama sekali tidak berniat untuk melakukan itu. Madara tidak akan mampu membunuh orang yang dicintainya.

Lantas apa yang dilakukannya setelah itu?

Madara menepuk pundak Kiyomi, membuatnya pingsan.
Ia kemudian menggendong Kiyomi dengan bridal style. Ditatapnya wajah teduh Kiyomi, wajah damai yang sedari dulu selalu menenangkannya. Madara bershunsin, membawa kiyomi menjauh dari sana.

.

Iwagakure.

Madara menempuh jarak yang jauh dengan susanno ō nya yang terbang.
Demi membawa Kiyomi jauh dari Konoha, dan segera membawanya ke rumah sakit.

.

Brakk

Orang orang yang berada di sana di buat terkejut atas kehadiran Madara yang menendang pintu sambil menggendong tubuh Kiyomi

"Cepat tangani perempuan ini!" Gertaknya pada salah seorang ninja medis

Ninja medis itu kemudian membawa kiyomi ke sebuah ruangan. Meminta Madara untuk menunggu diluar.

"Hei! Kau pasti bukan dari desa ini, Dasar tidak tahu sopan dan aturan!"
Ucap seorang ninja pada Madara

Madara tidak menggubris.

"Wah kau minta dihabisi rupanya?!"
Seru ninja yang tidak terima diacuhkan

"Pergilah. Aku sedang tidak ingin bertarung" madara berkata dingin tanpa menoleh.

"KAU—"
Pria itu urung melanjutkan ucapannya.
Madara baru saja memberinya satu lirikan maut sharinggan.

Orang orang yang sedari tadi memperhatikan keduanya ikut menjauh , menyadari bahwa Madara bukan sembarang orang.

"M-maafkan aku, kau pasti sedang terburu buru"

Ninja itu kemudian pergi meninggalkan Madara.

.

Setengah jam berlalu, Madara dengan setia menunggu.

Pintu ruangan terbuka, menampilkan seorang ninja medis yang baru saja keluar.

"Anda—"
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Madara telah lebih dulu masuk ke ruangan Kiyomi.

.

"Bagaimana kondisimu Kiyomi"

Kehadiran Madara membuat Kiyomi menoleh, meninggalkan kegiatan menatap bulannya sejenak.

"Arigatou. Tapi aku tidak mengharapkan bantuanmu. Seharusnya kau membunuhku tadi"

Madara tersenyum getir.
"Omong kosong apa yang sedang kau bicarakan? Akan kupastikan senju kecilmu itu lahir."

Kiyomi menatap Madara tidak percaya.

"Maafkan aku karena telah membunuh Kenji"

Madara kemudian berjalan mendekati jendela. Madara melakukan kebiasaannya, menatap bulan.
Kedua manusia itu tenggelam dalam sunyinya malam dan terangnya sang rembulan

Hening sejenak.

Hingga Kiyomi memutuskan untuk berbicara.
"Apa sebenarnya mimpimu Madara?"

Madara menjawab pertanyaan Kiyomi tanpa mengalihkan tatapannya pada sang rembulan
" sebuah perdamaian yang abadi Kiyomi. Kau tidak akan pernah mengerti"

Kiyomi menghela napas.
"Madara, membangun Konoha adalah suatu perjuangan untuk menuju perdamaian. Dan untuk meraih perdamaian itu telah dilakukan banyak pengorbanan. Lantas apa yang membuatmu tidak menghargai pengorbananmu sendiri?"

Demi mendengar kata-kata itu Madara  akhirnya menoleh menatap dalam emerald Kiyomi.

"Nyatanya Konoha masih memiliki perselisihan yang dialami antar klan atau individu. Aku akan  membuat dunia dimana tidaķ ada lagi yang namanya pertempuran, orang orang akan hidup damai dalam mimpinya masing-masing"

Kiyomi tidak berniat melanjutkan percakapan ia lebih memilih untuk memejamkan mata, menelusuri alam mimpi.

.

.

.

Bulan demi bulan berlalu.

Kehidupan baru Kiyomi dimulai. Tidak  ada lagi rutinas menyiapkan sarapan, tidak ada lagi bento yang harus diantar,juga tidak ada lagi pergi ke rumah sakit. Lingkungan baru, orang-orang baru.

Kiyomi  memutuskan untuk menjadi rakyat biasa, tinggal di desa Iwagakure.  Keahliannya dalam meracik obat dia manfaatkan sebagai sebuah pekerjaan.  Membuka toko obat-obatan.

9 bulan dijalani, 9 bulan ia telah mengandung, 9 bulan juga Madara menyempatkan diri untuk datang menemui Kiyomi, memastikan Kiyomi baik baik saja.

Toko obat Kiyomi memang selalu ramai. Selain karena obatnya yang ampuh, beberapa pelanggan memang sengaja mau curi-curi pandang pada Kiyomi.

Waktu memang tidak terasa.  Perut Kiyomi sudah membesar, membuatnya sulit untuk bergerak.
Madara telah melarang Kiyomi untuk membuka tokonya.
Akhir-akhir ini pun laki-laki itu lebih sering berkunjung.

Sore itu seperti biasa Kiyomi akan menutup tokonya. Mendadak perutnya tersa sakit. Namun, masih bisa ditahan. Lantas melanjutkan menutup toko. Setelahnya duduk menatap senja dengan segelas air putih

Kiyomi mengelus lembut perutnya, setitik air mata jatuh. Kiyomi bergumam. Banyak sekali pertanyaan yang menghujam dirinya 'apakah anak ini akan bahagia?' 'Apakah anaknya akan bertanya siapa ayahnya?'
Itulah diantara pertanyaan yang berkelebat di kepala.

Madara menghalangi pemandangan senja yang indah, muncul begitu saja di jendela.
"Hei nona senju!"
Kiyomi tidak terkejut. Tersenyum simpul.
"Masuklah aku akan membuatkanmu ocha hangat"

Persis dirinya beranjak, disitulah rasa sakit yang lebih sakit lagi, amat sakit itu membuatnya tak dapat bertahan, hampir terjatuh.

Madara menoleh dengan sigap menagkap tubuh Kiyomi.

"Bertahanlah, kita pergi sekarang!" Seru Madara, tangan kekarnya meraih tubuh Kiyomi kemudia bershunshin menuju tempat pengobatan terbaik yang mereka datangi 9 bulan lalu.

.

Itu adalah menit menit yang menegangkan.

Sesampainya di rumah sakit Madara dengan segera meminta pertolongan untuk Kiyomi.
Kedatangannya kali ini tidak seperti saat pertama dia datang.
Madara tidak lagi mengejutkan seisi rumah sakit, dia datang baik-baik.

Beberapa orang yang masih mengingatnya tanpa banyak bicara segera mengambil alih tubuh Kiyomi, membawanya menuju ruangan persalinan.
Madara hanya ikut mengantar hingga depan ruangan.

Sesaat sebelum memasuki ruangan, ninja medis sempat bertanya

"Apakah anda suami perempuan ini?"
"Ya, eh bukan. Maksudku aku bukan suaminya"
"Lalau anda siapa?"
"Aku... aku adalah kakaknya"

Kiyomi mendengarnya. Ia mungkin sedang merasakan sakit, tapi ia tidak kehilangan kesadaran.

"Apakah anda mau menemani nona ini melahirkan"

Madara menatap wajah Kiyomi, menggeleng pelan.
"Tidak. Aku  menunggu disini saja. Dia adalah wanita yang kuat, aku yakin dia pasti bisa melaluinya sendiri"

Sempurna sudah air mata Kiyomi mengalir. Itu bukan air mata kesakitan atau kebencian, itulah ait mata haru. Kata-kata itu terdengar begitu tulus.
















Uchiha PrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang