Rintik gerimis mulai menyentuh bumi di sekitar pukul sembilan malam lewat tiga menit. Jika diamati rintikan hujan menjadi semakin deras.
Seorang perempuan berdiri cemas di depan pintu kamar. Kamar yang baru ia singgahi sekitar lima menit yang lalu.
Seseorang yang ditunggunya tak kunjung keluar dari dalam sana. Padahal janjinya Mahen segera keluar dalam waktu dua menit.
Gadis dengan nama Launa itu berkali-kali mengetuk pintu kamar, tidak ada sahutan dari dalam. Sepertinya Mahen ingin mengurung diri di kamar.
Bergerak dari posisinya, mata Launa tertuju pada sebuah kamar dengan pintu terbuka lebar seakan menyuruhnya untuk masuk, ia pun masuk ke dalam kamar.
Launa menatap Mirna yang sedang duduk di kasur. "Tante, Lau boleh duduk di samping, nggak?" tanyanya sopan.
Mirna mengangguk. "Mahen mana?"
"Mahen lagi istirahat di kamarnya, tante."
Launa kini duduk di samping Mirna. Ia bergeser untuk duduk lebih dekat dengan Mirna. Lalu tangannya tanpa ragu mengusap pipi Mirna yang sudah basah, dapat dilihat dari mata sembabnya sepertinya wanita itu sudah menangis cukup lama.
Mirna memperhatikan Launa dengan lekat. "Kamu bisa tolong hibur Mahen nanti? Tante tau dia lagi sedih, mungkin kamu bisa bikin dia sedikit lebih tenang," ucap Mirna.
Sebuah senyuman muncul di wajah Launa. "Bisa, Tante, Launa bakalan hibur Mahen nantinya. Launa juga mau hibur tante, Launa tau kalau tante juga lagi sedih." Launa mengusap punggung tangan Mirna. "Tante kalau butuh apa-apa bilang aja sama Launa."
Mirna tersenyum. "Makasih, sayang."
"Tante jangan lama-lama nangisnya nanti cantiknya nggak keliatan," kata Launa yang mencoba menghibur Mirna.
Mirna tersenyum tipis. "Iya, Lau."
"Kalau gitu Launa mau liat Mahen dulu ya, tante. Kayaknya Mahen belum makan, Tante udah makan belum?"
"Udah tadi. Tante tetap makan kok, tante juga mikir kalau tante sakit nanti Mahen nggak ada yang ngurusin di rumah," jawab Mirna.
Launa mengangguk. Syukur kalau sudah, pikirnya.
Lalu setelahnya, perpisahan terjadi. Punggung Launa menjauh, diamati oleh Mirna dengan lama. Setidaknya Mirna merasa sedikit tenang karena Launa bisa menemani Mahen. Ia yakin anaknya itu pasti sedang bersusah payah mengatasi kesedihannya karena telah kehilangan papanya.
Katanya, di saat sedang sedih pelukan bisa menghangatkan juga meredakan kesedihan.
Belum sempat lagi Launa mengetuk pintu kamar Mahen. Ia sudah disambut dengan pelukan dari lelaki dengan kaos hitam dan celana jeans biru.
Mahen mengerti, rasanya memang hangat.
"Lau, aku nggak kuat," lirihnya.
Launa membalas pelukan Mahen, ia menepuk-nepuk punggung Mahen. "It's okay, Mahen. Aku ngerti rasanya pasti sakit banget, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm In Love With Mahen (Tamat)
Teen FictionJika ada satu pertanyaan, siapa yang mampu menahan perasaan cinta terhadap temannya selama 5 tahun, maka Launa Givanya adalah orang yang tepat untuk jawaban tersebut. Launa Givanya atau yang kerap di sapa Launa ini adalah seorang gadis biasa berusi...