Pukul enam sore ketika langit memasuki momen emasnya, Launa bisa melihat bagaimana indahnya matahari terbenam dari pinggir tugu Jogja. Perempuan itu sudah terbiasa duduk di pinggir tugu, tidak ada yang berbeda dari hari ini. Dia masih seperti biasanya, duduk sendirian di tugu Jogja kala kesedihan melandanya.
Waktu tempuh dari rumahnya ke tugu Jogja tidak lama, hanya memerlukan waktu lebih dari dua puluh menit saja. Perempuan itu selalu berjalan kaki saat ingin menenangkan dirinya di tugu. Apakah di sana seseorang yang saat ini ada dipikirannya juga memikirkan dirinya? Rasa sedih menyelimuti perempuan itu.
Tadi pagi ia melihat Mahen sedang duduk berdua dengan Sabrina di kantin. Saat itu perasaannya sedih bercampur marah, dia merasa Mahen selalu mempermainkannya, atau bahkan gadis-gadis yang mendekatinya. Benar, sepertinya begitu.
Pagi itu Launa memilih untuk pergi meninggalkan sekolah, ia meminta izin pada guru untuk pulang ke rumah dengan alasan tak enak badan. Tapi, dia malah melangkah menyusuri tugu Jogja seorang diri dan di sini lah dia sekarang, memandang orang lalu lalang di sekitarnya.
"Nggak Lau nggak. Mahen pasti cuma nggak sengaja ketemu Sabrina di kantin." Perempuan itu mengerutuki dirinya sendiri. Salahkah dia bila berusaha untuk menghibur dirinya sendiri? Launa tidak ingin larut dalam kesedihannya, tapi makin diingat makin sakit rasanya. Sebelum datangnya Sabrina, laki-laki itu selalu meletakkan di nomor satu. Kini Launa merasa berbeda, makin hari hubungan pertemanannya dengan Mahen terasa hambar baginya.
"Everything gonna be okay."
Launa merasa waktu begitu cepat, langit mulai menggelap. Perempuan itu menunduk menatap kaki kecilnya yang dibentangkan tanpa alas kaki. Beberapa menit setelah itu air mata berhasil lolos melewati pipinya, Launa menangis di dalam sepinya. Tembok yang sudah dibangun olehnya runtuh, laki-laki yang sudah disukainya dalam jangka waktu panjang sekarang bisa membuatnya merasa sakit hati yang mendalam.
"Kamu jahat," gumamnya pada diri sendiri.
"Launa?"
Perempuan itu membeku di tempatnya ketika suara yang tidak asing di telinga memanggil namanya. Launa menggigit bibir dan langsung berlari kecil ke arah sosok yang juga melangkah mendekatinya.
Satu detik kemudian tubuh Launa jatuh pada pelukan seorang perempuan yang mengenakan skinny jeans dan kaos oblong dengan rambut terkucir rapi. Launa menangis di pelukan Rora, teman yang selalu memperhatikan kesedihannya. Rora adalah satu-satunya orang yang selalu peduli tentang apa yang dirasa oleh Launa. Dia seakan tahu isi pikiran Launa saat ini, semenjak pengakuan cinta Launa malam itu Rora semakin waspada terhadap perasaan temannya. Ia takut Launa terluka oleh perasaannya sendiri, Rora sangat cemas saat Launa meninggalkan sekolah tadi pagi.
Rora mengusap punggung Launa berkali-kali. "Lau... Jangan nangis sendirian, ada gue di sini. Cerita sama gue kalau lo lagi sedih, Lau, Astaga..." Pelukan mereka terlepas dan Launa tersenyum tipis ketika Rora menatap wajahnya yang sudah terlihat sembab akibat tangisan.
Launa terdiam saat orang di depannya menunduk sedih. Ia bahkan menjadi kebingungan karena tidak mengerti kenapa Rora malah ikutan sedih.
"Lo kenapa jadi ikutan sedih?" Launa tertawa kecil.
"Gue benci liat lo kayak gini. Gue itu apa sih bagi lo? Kenapa lo nggak mau cerita sama gue? Gue bisa dengerin cerita lo, nggak usah gengsi cerita sama gue kalau lo lagi sedih karena tuh cowok." Omelan Rora membuat Launa mematung, senyuman tipis di wajahnya memudar perlahan. Baru ini dia merasa buruk pada Rora, kegusaran Rora terlihat begitu jelas, Launa bisa merasa betapa khawatirnya temannya itu terhadap dirinya.
"Maaf, Ra, gue cuma nggak mau lo anggap gue lebay karena cowok doang, gue nggak mau keliatan lemah."
Rora menarik napasnya dalam-dalam, mengisi rongga dadanya yang terasa sesak. "Lo terlalu naif, gue bahkan hampir nggak ngerti dengan pandangan lo terhadap gue, kayaknya lo nggak sepercaya itu sama gue."
Launa menggeleng cepat. "I believe you, please... Tetap ada di di samping gue, Ra. Jadi teman gue yang selalu khawatir sama gue, selalu ngertiin gue, selalu penasaran sama perasaan gue, tolong, Ra..." kata Launa untuk yang terakhir kali, lalu memeluk Rora sambil menangis.
***
Hari ini Mahen tidak ada di kelas. Ia tersenyum senang melihat tumpukan buku di Gramedia Jogja Sudirman, katakan ini sedikit aneh, biasanya laki-laki hanya suka mendengarkan musik rock namun tidak dengan Mahen, baginya membaca novel bisa meredakan stresnya. Tulisan-tulisan di lembaran kertas yang indah benar-benar bisa menenangkan pikirannya.
Mahen meraih salah satu novel best seller dan berjalan menuju kasir untuk melakukan pembayaran yang menyita waktu sekitar lima menit.
Mahen keluar dari toko setelah membeli satu novel dan tidak sengaja berpapasan dengan Launa yang baru saja ingin memasuki toko itu. Perempuan itu mengenakan celana kulot berwarna coklat dan kemeja putih. Launa melirik Mahen sekilas, lalu buru-buru membuka pintu toko. Jujur, Launa malas melihat Mahen karena masih kesal mengingat kemarin Mahen dan Sabrina makan bersama di kantin.
Launa menghela napas saat tangan kirinya ditahan oleh Mahen, ia menyingirkan tangan besar itu lalu berbalik badan.
"Ngapain, Ra?" tanya Mahen.
"Nyari buku."
"Maksud aku, kamu ngapain ke sini sendi—"
"Harus sama kamu? Kamu aja ke sini sendirian." Launa memotong ucapan sosok itu. Si pemuda ber–hoodie hitam dengan wajah polos, siapa lagi kalau bukan Mahen. Padahal jika diingat-ingat dulu mereka sangat sering pergi bersama menghabiskan uang mereka untuk buku di Gramedia.
"Aku tadi mau ngajak kamu, cuma takutnya kamu nggak mau." Mahen mengekori Launa yang melangkah masuk ke dalam.
Toko itu tidak terlalu ramai, ada sekitar sebelas orang di sana. Launa mengambil salah satu novel dan berbalik badan, jantungnya berdegup kencang saat wajahnya dan Mahen bertemu sangat dekat. Laki-laki itu dari tadi berdiri di belakang Launa saat perempuan itu sedang memilih buku.
"Mau beli yang itu?" Mahen bertanya pelan. "Biar aku aja yang bayarin."
Mata Launa bergulir acak, dia menatap sekitarnya sambil berpikir sejenak. "Gimana ya? Boleh deh, tapi ini kamu nggak terpaksa bayar, kan? Bukan aku yang minta kan kamu yang mau sendiri."
Mahen mengangguk sambil tertawa. "Iya, Lau. Aku yang mau bayarin kamu." Mahen mengacak-acak rambut Launa.
Launa meringis, "Ya-yaudah, awas!" Launa menggeser tubuh Mahen dan berjalan cepat, wajahnya terasa panas saat ini.
Di sisi lain, Mahen terkekeh melihat Launa yang meninggalkannya dengan wajah memerah. Mahen tak mengira kalau ternyata Launa memiliki wajah yang menggemaskan, tak jarang bila banyak yang menyukai Launa, pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm In Love With Mahen (Tamat)
Novela JuvenilJika ada satu pertanyaan, siapa yang mampu menahan perasaan cinta terhadap temannya selama 5 tahun, maka Launa Givanya adalah orang yang tepat untuk jawaban tersebut. Launa Givanya atau yang kerap di sapa Launa ini adalah seorang gadis biasa berusi...