BAB 13

47 28 3
                                    

MENCERITAKAN ULANG

"MAMI!!" pekik Anansya dari atas tanngga. Tidak ada jawaban, Anansya pun mengulang. "MAMIIII...."
Eca keluar dari dapur saat mendengar pekikan anak perempuan itu. Ia berdecak sebal. "Astaga, sya, jangan teriak, mami dengar kok,"

Anansya berlari menghampiri maminya, ia merangkul pundak Eca.
"Lagian sih, mami di panggil gak direspon," ujar Anansya. Eca melepaskan rangkulan Ananysa, dan hendak kembali ke dapur untuk memasak. "Bilang, kamu mau apa?" tanya Eca to the point.

Anansya yang ingin duduk dikursi kini berhenti mendengarkan pertanyaan maminya. "Mami kok tau?"
"Udah, bilang aja, mami udah tahu tingkah kamu yang kayak gini," ucap Eca.
"Assya mau minta duit," jawab Anansya sambil nyengir kuda.
Eca langsung mengambil uang yang ada disaku celananya. Dia tidak mempermasalahkan jika anak perempuannya ini meminta duit. Asalkan nilai dan prestasi Anansya tidak turun.

"Sini," pinta Eca sambil mengulurkan tangannya yang sedang memegang uang tersebut. Anansya berjalan dengan senang hati untuk mengambil uang yang diberikan Eca, maminya. "Makasih, mami sayang,"
Anansya kembali ketempat awalnya dan duduk dikursi. "Oh iya, mi, sebenarnya Assya mau pergi jalan sama temen, boleh kan ya," sambung Anansya. Sebenarnya ia tidak hanya ingin meminta uang. Tetapi ia ingin izin pada maminya untuk keluar rumah menemui sahabatnya.

Eca menoleh kearah Anansya yang sedang duduk sambil tersenyum. "Yaudah, gapapa, kamu pergi aja," senyum Anansya semakin melebar saat maminya mengizinkannya pergi.
"Tapi jangan pulang malem, nanti papi marah lagi," tambah Eca sambil mengingatkan.

"Iya iya, mami, tenang aja,"
"Yaudah, Assya pergi dulu, baii mami," pamitnya.

Eca hanya menggelangkan kepalanya. Ia tidak heran lagi kepada anak bungsunya ini. Selalu bertingkah aneh jika ingin berpergian.

Dimobil, Anansya menelfon kedua sahabatnya itu. Ia ingin tahu, apakah mereka sudah sampai atau tidak.

"Sya, lo udah dimana?"
Anansya fokus melihat kearah depan. Karena dia menyetir sambil menelfon. "Ini, lagi dijalan,"
"Cepetan, Sya, gue sama Kiana udah disini dari tadi nungguin lo."
"Iya iya, sabar, bentar lagi sampai kok," ucap Anansya yang masih menyetir.

Renaya mematikan telfonnya. Kini Anansya hanya fokus menyetir agar sampai dengan selamat. Akhirnya Anansya sampai di mana tempat perjanjiannya dengan kedua sahabatnya. Anansya pun masuk kecaffe tersebut dan menemuin sahabatnya.

"Hai," sapa Anansya.
"Lama banget lo sampai," ucap Kiana.
"Iya, udah lumutan ni kita dua," sambung Renaya.
Anansya meletakkan tasnya dan menarik kursi lalu duduk. "Ya maaf, gue tadi bujuk mami, baru kesini,"

Tak lama pun pelayan caffe datang mengantar pesanan mereka bertiga. Anansya, Renaya, dan Kiana pun menikmati pesanan itu.

Saat meminum jus pesanannya. Anansya baru meningat apa yang sebenarnya ia ingin ceritakan pada Kiana. "Oh iya, Ki, lo harus tau sih,"
"Apaan emang," jawab Kiana sambil mengunyah makanan.
"Si Naren punya sahabat kecil,"
"Uhuk, uhuk," Kiana tersedak saat mendengarkan ucapan Anansya. Dia pun minum perlahan.

"Pelan-pelan, Ki makanya," ujar Renaya sambil memaikan handphonenya.
"Anjir, sampai kaget gitu lo, Ki,"
"Lagian lo bilangnya tanpa aba-aba jir," Kiana menatap Anansya dengan mata yang sinis.
"Maaf, bro,"
"Udah, lo tadi bilang apa?" tanya Kiana.
"Naren punya sahabat kecil," Anansya mengulang perkataannya.
"Dari mana lo tau?" Kiana menatap Anansya penuh kecurigaan.

"Yaelah, santai aja kali matanya, jangan kayak gitu," kekeh Anansya. "Gua ketemu Sheinnara di indomaret, jadi dia bilang kalau dia itu sahabat kecilnya, Naren," lanjut Anansya.
"Sheinnara?" tanya Kiana sambil mengernitkan dahinya.
"Iya, namanya Sheinnara," ucap Anansya.
"Lo ada nomornya?"

Pertanyaan Kiana membuat Anansya dan Renaya melihat kearahnya. Tanpa aba-aba, Kiana menanyakan hal itu. Tidak jadi masalah. Tetapi Kiana kenapa tiba-tiba saja menanyakan nomor Sheinnara. Apakah dia ingin berteman? Jika iya, tidak apa-apa.

Tetapapan yang diberikan Renaya pada Kiana mengandung makna. Dipikiran Renaya sudah menyatakan bahwa Kiana akan berbuat suatu hal. Tidak tahu mengapa, kini Renaya selalu mencurigai gerak-gerik Kiana.

Tetapi tidak dengan Anansya. Dia masih santai. Dia tidak pernah berpikiran seperti yang dipikirkan Renaya. Karena baginya, tidak mungkin Kiana akan berbuat hal yang negatif hingga sampai merusak pertemanan mereka.

Berbalik pada Kiana. Ia diam termenung memikirkan perkataan Anansya tadi. "Sahabat kecil Naren?" pertanyaan ini selalu memenuhi pikiran Renaya.

"Kok gue gak tau ya, kenapa Anansya tau duluan, si Naren juga gak pernah cerita soal Sheinnara sahabat kecilnya itu." batin Kiana.

Entah mengapa, kini Kiana selalu memikirkan itu. Ia ingin sekali berteman dengan Sheinnara. Karena menurutnya, jalan satu-satunya agar bisa dekat dengan Naren adalah Sheinnara. Tapi kehalang dengan Anansya yang sudah mengenal Sheinnara duluan.

"Gimana gua mau dekatin Shein, nomornya aja gue gak punya, tapi gue harus berusaha nyari nomor Shein apapun itu. Biar kedekatan gue sama Naren berjalan mulus." ucap Kiana dalam hati.

Anansya dan Renaya saling melihat satu sama lain. Mereka menatap Kiana dengan heran. Mengapa saat Anansya mengatakan tentang Sheinnara, Kiana langsung diam seperti memikirkan sesuatu.

Anansya mendekat kearah Renaya. "Re, si kia kok diam pas gue bahas soal shein," Renaya juga mendekat ke Anansya. "Mana gue tahu, Sya. Udah biarin aja, paling nanti ngomong sendiri lagi dia,"

Anansya dan Renaya kembali menjauhkan badannya masing-masing. Mereka bertiga hening. Keheningan itu diawali oleh Kiana.

HAI HAI GAIS, KEMBALI LAGI. MAAF YA LAMA UP SOALNYA SIBUK PPDB. OH IYA MAKASIH YANG UDAH VOTE CERITA KAU.

AKU, KAMU, DAN SAHABATKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang