10. Bagaimana jika aku pergi?

57 36 12
                                    

Hidup akan terasa sulit, saat kita bahkan belum mengenali diri sendiri.

💔💔💔
.
.
.

Berjalan dengan pakaian basah mungkin tidak bisa untuk manusia biasa yang sudah terlahir sejak dalam kandungan, berbeda dengan manusia yang terlahir dari Pohon Peri, seperti Kenzo. Bagi Kenzo itu adalah keharusan daripada harus terus bercekcok dengan Lovy yang begitu ingin membelikannya baju baru.

Setelah kejadian tadi saat Kenzo rela menyeburkan dirinya ke dalam sungai, dia terus menolak dibelikan baju baru oleh Lovy. Padahal Lovy memang berniat untuk mengganti bajunya yang basah, namun entah kenapa Kenzo harus menolak dan lebih memilih memakainya sampai sudah setengah kering karena terkena angin sore yang berhembus menyejukkan.

Kini, mereka sudah kembali ke tempat tinggal mereka —Kota Jingga. Kota yang menjadi tempat tinggal Lovy menurutnya juga tidak kalah bagus jika dibandingkan dengan Kota Biru tadi. Salah satu keberuntungan milik Kota Jingga adalah Pohon Peri. Pohon yang dijaga dengan baik dan dapat menjadi ladang harapan bagi pengunjung.

Namun, entah kenapa masih ada dalam benak perasaannya bahwa Kota Biru seperti menyimpan sebuah misteri. Apa mungkin karena mimpi yang aneh selalu datang di malam tidurnya? Rasanya, Kota Biru seakan menempel dalam dirinya.

Sekarang Kenzo tidak banyak bicara kepada Lovy. Dia merasa masih ada sedikit kekecewaan dalam dirinya karena telah memunculkan tragedi itu. Dia juga merasa malu atas apa yang dia lakukan begitu saja. Kenapa harus aku memeluknya? Begitulah yang kini hanya ada dalam pikirannya.

"Apa kamu tidak dingin terus begini? Aku bilang juga ganti baju," ujar Lovy yang membuyarkan keheningan di antara mereka.

"Tidak mau. Begini juga sudah bagus," balasnya datar seperti biasa.

"Kembali datar lagi, tadi kamu bicara panjang lebar kepadaku!" Lovy mendengus.

"Itu karena aku marah, ke —kenapa kamu selalu merepotkanku?" Dia bicara terbata-bata karena masih cukup malu.

"Maaf..." ucap Lovy setelah lama bergeming.

Kenzo menyadari kalau Lovy sepertinya terus menatapnya. Mungkin Lovy hanya menatap tubuhnya yang masih sedikit lembab karena air sungai tadi.

"Kenzo ... aku mau bilang sesuatu," ungkap Lovy dengan wajahnya yang terlihat sayu.

Kenzo masih menunggu ucapan itu. Dia memilih diam dan menatap Lovy yang terlihat ragu untuk bicara. Dia mengerutkan keningnya dan menarik sudut bibirnya sedikit untuk memberi kelonggaran Lovy dari rasa gugupnya.

"Nggak jadi, deh." Seketika Lovy tidak jadi bicara.

Kenzo mendengus karena kecewa. Dia berusaha tetap menunjukkan wajah datar seperti biasanya walaupun sebenarnya hatinya sudah berdetak kencang. "Aku mau bicara sama kamu," katanya tanpa rasa gugup lagi.

"Iya, silakan."

Dia bergeming sebentar. Mencoba berpikir keras untuk merangkai kata-kata yang masih terselip di tenggorokan. "Sebenarnya, aku pernah bermimpi," ungkapnya dengan santai.

"Mimpi? Apa?"

Kenzo menjelaskan bagaimana mimpi itu terjadi. Mimpi yang memperlihatkan seorang pria sedang melukis. Dan hasil lukisannya menunjukkan sosok seseorang yang tampan meskipun agak buram.

Dia kembali menarik nafasnya sejenak, sebelum akhirnya kembali melanjutkan pembicaraannya. Di mana lukisan itu juga hampir mirip dengan lukisan yang ada di museum Kerajaan Biru tadi. Seorang Pangeran yang katanya di usir dari kerajaan karena menikahi wanita miskin tidak sesuai kesetaraannya.

Mr. Kenzo | Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang