CH 6

23 3 4
                                    

"Diana, banyak hal yang ingin kukatakan padamu. Meskipun aku menulis surat padamu, kita tidak punya cukup waktu untuk berbicara secara langsung seperti ini."

"Aku juga berpikir seperti itu. Sejujurnya, jika aku tahu kita tidak akan bertemu selama ini, aku akan meminta ayahku untuk mencabut posisiku sebagai Komandan Pasukan Integritas (Emblem)."

Diana dan Ibuku terlibat percakapan dengan nada kasih sayang yang begitu gambling, sehingga siapapun yang mengamatinya mungkin akan salah mengira mereka sepasang kekasih. Mereka tampak seperti orang-orang yang tidak bertemu satu sama lain selama 50 tahun (setidaknya menurut sudut pandang orang luar).

Pendidikan ekstensif yang ku terima tentang sejarah Emblem dan Gray sepertinya luput dari perhatian mereka berdua.

'Pantas saja Kakek marah-marah, mengatakan dia tidak menyukainya.'

Ada rumor yang mengatakan bahwa Kakek yang sangat menentang Gray. Terakhir kali (dari rumor yang terdengar), (saking tidak sukanya) Duke (Emblem) meledakkan gunung milik Duke Gray.

'Sejauh ini, aku tidak pernah berpikir aku akan merasa kasihan pada Kakekku.'

Mereka memiliki hubungan di mana seseorang yang bersikap congkak (pamer poto cucu misalnya wkwk) bisa menyebabkan meledaknya gunung. Merasa seolah-olah hidup tidak dapat dilanjutkan setelah kehilangan putrinya dan sekarang mencoba membentuk aliansi dengan menjadi mertua. Aku jadi tahu mengapa Kakek begitu keras dan menentang.

"Oh, aku jadi lupa tujuanku karena kegembiraan ini. Diana, ini putriku tercinta, Cherrya Emblem."

"Putri yang menggemaskan sangat mirip denganmu. Sungguh.... aku ingin membawanya pulang kalau begini." Diana dengan mata berbinar mengulurkan tangannya padaku. Mengingat kalau dia melemparkan putranya ke udara, aku dengan takut-takut menolaknya dengan memegangi baju ayahku.

"Anda tidak bisa membawanya pulang, Tuan Gray." Meski berkata seperti itu, Ayahku dengan ceroboh (tetap) menyerahkanku padanya.

**Diana dipanggil Tuan (Lord) karena wakil sah dari Duke Gray dan menjabat jadi Komandan Pasukan juga.

Tanpa mengalihkan pandangannya dariku, Diana bertanya, "Bolehkan kuberi satu kali kecupan?"

"Tidak, tidak boleh."

"Oh ayolah." Dia melihatku dengan pandangan kecewa, seolah-olah sedang menyesal. Tapi ayahku, dengan senyuman cerah (yang bagaikan sinar matahari) memberikan tatapan tajam pada Diana.

"......Suamimu masih saja sama seperti dulu," berakhir dengan Diana yang menghela napas dan menyerah untuk menciumku.

Ibuku memandangnya dengan terkikik dan kemudian bertanya, "Bisakah kau memperkenalkanku pada putramu juga?"

"Oh, tentu saja. Ed, tunjukkan Melsia anak kita." Dia (Diana) masih belum mengalihkan pandangannya dariku.

Suami Diana (Edward) menyerahkan anak yang berada dalam pelukannya kepada ibunya (Diana) tanpa sedikitpun keluhan. Seolah-olah semuanya sudah sangat familiar.

"Dia anak yang berperilaku baik, tapi dia tidak suka jika kamu menyentuh pergelangan tangannya dengan kuat, jadi hati-hati."

"Oke, akan ku coba." Ibuku mengangguk patuh dan melakukannya (sesuai nasehat Diana).

Kedekatan Diana dan ibuku membuatku bisa melihat calon pasanganku lebih dekat. Rambut perak yang mempesona dan kulit bersih yang sama seperti yang pernah kulihat sebelumnya, pipi kemerahan yang sama dan bibir yang cekung penuh.

Saat aku melihat pupil hitam di tengah mata biru jernihnya, aku merasakan sesuatu bergejolak di dadaku sekali lagi. Pupil yang gelap dan hitam pekat itu...

'......ada yang tidak beres.'

Merasa ingin muntah, aku mengeluarkan suara keras, dengan paksa menarik lenganku dari genggaman ibuku. "Uhh!"

Mungkin karena tidak menyangka aku akan seperti ini, ibuku dengan mudahnya melepaskan tanganku. 

"Tidak, Ceri!" Lenganku terayun ke arah wajah Enoch yang berada di dekatnya. Dengan bunyi gedebuk, wajah Enoch memalingkan muka saat itu juga.

"......."

"......"

Sesaat suasana menjadi senyap. Ibuku tetap dalam posisi yang sama sambil menggendongku dan Diana tampak terkejut sambil menatap putranya yang tiba-tiba menoleh.

Setelah hening sekitar 2 detik, Enoch menjadi orang pertama yang bergerak. 

"Aah!" Enoch dengan wajah yang tampak berkerut mencoba menyerang ke arahku sambil berteriak dengan caranya sendiri. Enoch dengan tangan seperti pakis, menantang mengepalkan tinjunya dan mengayunkannya ke arahku. Namun itu berjalan lambat.

"Tidak!"

Bagi orang sepertiku yang perbah menjadi mantan inspektur, serangan seperti ini tampak seperti gerakan yang sangat lambat. Sambil menyandarkan kepalaku ke belakang, aku dengan mudah menghindari pukulan Enoch.

"Enoch! Kamu tidak boleh melakukan itu pada Cherry!" Diana memeluk Enoch lebih erat lagi dan menariknya menjauh dariku.

"Aaah, huh!" Meskipun Enoch meronta-ronta dalam pelukan Diana, dia tidak bisa mengatasi kekuatan orang dewasa itu.

"Tidak, dia tidak pernah begini sebelumnya! Kenapa dia bertingkah seperti ini?"

Pemandangan ini membuatku geli dan aku pun terkekeh. Ibuku memarahiku dengan keras saat melihatku tertawa. "Cheery! Enoch kesakitan, tidak bisakah kamu melihatnya?!"

"Aaaiya, aenyah!" Aku dengan keras membantah dengan pengucapan yang jauh lebih dari benar. Sewaktu aku memukul Enoch, itu ketidaksengajaan. Mungkin jika aku bisa mengucapkannya dengan benar, ibuku akan mengerti maksudku. Sayangnya, aku adalah bayi yang kurang berkembang.

"Sekarang, minta maaf pada Enoch."

"Enoch, kamu juga minta maaf. Cherry tidak bermaksud memukulmu, tapi kamu pasti mencoba memukul Cherry!"

Aku harus berhadapan langsung dengan Enoch dan kedua ibu ini. Karna itu, aku tidak bisa menahan dorongan kuat yang baru saja kurasakan.

"UWK"

"Kyaaah, Cherry!"

Pada akhirnya, aku menjadi bayi pertama yang muntah di depan wajah tunangannya.

|MUSUH KOK MALAH TUNANGAN|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang