CH 24

7 1 24
                                    

Di tengah kebingunganku menatap Putra Mahkota, Ibu mengusap kepalaku lembut dan berbisik di telingaku, "Perhatikan ini baik-baik. Kalau Cherry menjadi ksatria terhebat di kekaisaran, kau akan menjadi pedangnya Yang Mulia (Putra Mahkota)"

"Yang Mulia...maksudnya aku akan jadi pedang Putra Mahkota?"

"Benar," sambil tersenyum, ibuku mengangguk. Pada saat memperkenalkan Putra Mahkota kepadaku, dia (Ibu) berbicara dengan penuh kegirangan.

"Ibu adalah pedang Baginda Kaisar, dan kalau kamu menjadi pedangnya Yang Mulia Pangeran, akan tiba saatnya nanti kita bisa berjalan bersama di acara kerajaan, Cherry-ku."

"......"

Mendengarkan perkataan ibuku yang telah lama ku renungkan, aku menatap Putra Mahkota sekali lagi. Aku mengerjapkan mataku, menatap sebentar, mengerjapkan mata lagi dan akhirnya membuka mataku lebar-lebar untuk melihat.

".....Mama," aku memanggil ibuku pelan-pelan.

"Hm? Ada apa?" Mata ibuku yang berbinar penuh harap, menoleh ke arahku.

Aku tau apa yang sedang ibuku harapkan sekarang, tapi ada sesuatu yang ingin kutanyakan meskipun itu mengganggu suasana.

"Ini tentang Baginda Kaisar."

"Kenapa bertanya tentang beliau?"

"Apa tidak apa-apa membawa seseorang yang lemah seperti itu hari ini dan besok untuk perburuan? Apa dia anak kandungnya?"

Menanggapi pertanyaanku, ibuku membuka mulutnya dan mengedipkan matanya perlahan, "A-apa yang kau bicarakan?" Wajah ibuku terbelalak, tampak tak masuk akal ketika dia menyadari kesan pertamaku pada Putra Mahkota ternyata seperti ini. Tapi, memngingat kesan pertama yang muncul di benakku ketika melihat Putra Mahkota memang begini adanya.

"Menepuknya pelan saja, mungkin bisa mematahkan tulangnya sekarang." Semakin aku mengamati Putra Mahkota, semakin mengherankan jadinya. "Mana mungkin orang yang kelihatannya harus istirahat di ranjang, bisa jalan-jalan?"

Rambut pirang Putra Mahkota tidak seperti ayahnya. Rambutnya tampak lemas , juga mata emasnya yang kusam (olah-olah terlilit hutang.) Pipinya cekung tak berisi dan lingkaran hitam pekat terbentuk kuat di sekeliling matanya. Tulang-tulang pergelangan tangan yang menonjol keluar dari balik kerah terlihat menonjol, dan kaku yang bergerak setiap kali melangkan terlihat seperti anak rusa yang baru lahir.

Dari apa yang kudengar, Putra Mahkota berusia tiga belas tahun di tahun ini, tapi melihat dari postur tubuhnya, kupikir aku bisa percaya kalau dia seumuran denganku.

'Jadi, ini sebabnya suasana jadi gelisah ketika orang-orang mengatakan Putra Mahkota memasuki ruangan.'

Baru sekarang aku bisa memahami reaksi tersebut. Putra Mahkota seharusnya istirahat berbaring di suatu tempat dan tidak seharunya datang ke acara ini seperti ini. Kalau bisa, sih, aku ingin membuat kursi roda dan memberikannya hadiah.

"Dia sudah jauh lebih sehat sekarang."

"Hmm." Menanggapi ucapan ibuku dengan nada datar, aku mendesah diam-diam.
'Aku khawatir tentang masa depan kekaisaran ini.'

Kalau Putra Mahkota yang nanti akan menjadi kaisar, kalau begitu, ini akan sangat memprihatinkan.

"Pokoknya, yang harus kamu tuju mulai sekarang adalah menjadi lebih kuat untuk melindunginya dari bahaya apapun. Ingat ini, kalau suatu saat kau memegang pedang (menjadi ksatria)."

"Pasti sulit." Berapa banyak kesulitan yang harus kutanggung untuk melindungi Putra Mahkota yang lemah itu? Pikiranku dipenuhi dengan pikiran-pikiran seperti itu.

|MUSUH KOK MALAH TUNANGAN|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang