Chapter 1: Newlywed Morning Routine

793 79 13
                                    

Play the song before reading~

Sayup-sayup suara burung berkicau, entah dari mana asalnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sayup-sayup suara burung berkicau, entah dari mana asalnya. Aku tersentak dari tidur nyenyakku ketika cahaya matahari yang menyelinap masuk mengenai wajahku yang masih enggan untuk berfotosintesis. Merasa terganggu, aku pun memutar tubuhku menghadap sisi kanan tempat tidurku. Sembari merenggangkan tubuh, aku pun melebarkan kedua mataku, bermaksud sedikit mengintip situasi kamarku yang temaram ini.

Tunggu dulu, sepertinya ada yang aneh di sini.

Dua bola mataku seketika melebar kala menemui seonggok manusia lain yang juga tidur di kasur yang sama denganku. Manusia itu tidur menyamping menghadapku dengan sepasang matanya yang tertutup rapat.

Oh Tuhan!

Bisa-bisanya aku melupakan fakta bahwa kini aku dan Mas Soki telah tinggal serumah bahkan sekamar. Ini bahkan sudah nyaris seminggu semenjak hari di mana kami mengikat janji pernikahan. Dan kenyataan bahwa kami tidur sekasur adalah kesepakatan bersama yang kami setujui sekitar tiga hari lalu. Setelah segala drama dariku yang maha pemalu, penakut, sekaligus freak ini. Syukurnya Mas Soki memahami segala keanehanku itu dan setuju-setuju saja ketika kubilang akan mengiyakan sarannya untuk tidur sekamar asal kami membagi teritori tempat tidur.

Konyol sekali.

Sebenarnya ide soal tidur sekamar yang keluar dari mulut Mas Soki bukan tanpa alasan. Kurasa itu karena ia tak ingin keluarganya, terutama orang tuanya, menemui kami sebagai sepasang suami isteri yang tak akur. Mas Soki juga tidak pernah bilang kalau dia menyarankan untuk satu tempat tidur karena ia menginginkannya. Maksudku, sebagai seorang suami tentu ia berhak untuk menuntut "itu". Tapi agaknya aku sedikit paham bahwa Mas Soki mungkin tak menginginkannya. Ia mengiyakan perjodohan ini karena dirinya yang sudah terlalu jengah dengan tuntutan dari keluarga. Oleh karena itu, semuanya menjadi jauh lebih masuk akal sekarang. Ia tak berharap apapun dariku yang menjadi isterinya tanpa pernah menjalin kasih dengannya. Begitu pun denganku, aku semestinya menjadi sosok tahu diri yang paham betul di mana posisiku. Tanpa perlu menuntut ini itu.

Sekali lagi, pernikahan kami hanyalah perjodohan yang dikehendaki kedua keluarga.

Woah!

Aku berdecak kagum dalam hati sembari memandangi sosok yang masih pulas di sampingku itu. Agaknya, memandangi wajah tampannya yang tengah tertidur damai bukanlah sesuatu yang berlebihan kan?

Sebagai seseorang yang mengagumi dan menyukainya sejak lama, tentu saja ini adalah kesempatan emas yang tak akan kusia-siakan. Tapi aku berani bertaruh bahwa aku bukanlah orang aneh yang mesum dan diam-diam membayangkan hal yang tidak-tidak atau bahkan berniat untuk menggodanya. Walau sebenarnya kesempatan itu terbuka lebar.

Tidak, tidak. Aku tidak serendah itu.

Sekali lagi aku paham bahwa Mas Soki menjalani pernikahan ini hanya demi menyenangkan orang tuanya. Begitu pun denganku. Walau aku menyukainya, bukan berarti aku harus mendapatkan hatinya. Begini saja sudah cukup kok.

MBTI NMPL: Not My Possesive LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang