Just a small moment

5.9K 370 11
                                    

Leon berbaring disamping Lio yang masih terlelap dengan posisi menyamping, sehingga netra elangnya bisa melihat secara keseluruhan wajah manis, tampan, cantik, dan juga sedikit menggemaskan kepunyaan remaja itu. Bulu mata lentik, hidung mancung dan bangir, bibir sedikit hm kissable (?), ada setitik tahi lalat diujung hidungnya. Tingginya hanya sebatas dadanya, dengan proporsi tubuh yang terbilang kecil (kurus), tapi yang mengesankan dari Lio adalah visualnya begitu menawan, kulitnya berwarna sedikit tan, jarinya begitu lentik dan juga pinggangnya yang ramping. Leon mengagumi visual calon adiknya ini, kenapa manusia seperti Lio hanya satu di semesta ini? Leon harus bisa mengendalikan diri sendiri nantinya.

Yang sebagai objek masih terlelap damai, jarum infus masih tertancap manis di punggung tangannya, dadanya naik-turun secara teratur, yang kembali membuat Leon tercengang ialah mata Lio tidak tertutup secara sempurna ketika tidur. Leon terkekeh merasa lucu, tangan besar dan kasar miliknya, menyusuri setiap inci pahatan sempurna dihadapannya, merasakan kehalusan di setiap jengkal kulit yang begitu menawan, tatapan mata yang biasanya datar itu kini memandang Lio dengan penuh puja.

"Adikku kenapa sangat manis sekali hm?" Bisiknya seduktif mungkin, Leon tersenyum menarik perlahan dan hati-hati tubuh yang paling muda untuk didekapnya, karena sejujurnya ini adalah hal pertama yang dia lakukan, bersikap hati-hati pada seseorang, pada Kenzi saja Leon jarang melakukan skinship antar kakak-beradik. Lio sedikit melenguh karena merasa tidurnya terusik, tapi dengan gerakan spontan Leon mempuk-puk punggungnya dengan lembut yang membuat Lio semakin nyaman. Tidak tau saja Leon puk-puk adalah kesukaan Lio ketika akan tidur.

Waktu masih menunjukkan angka 09.30, dan tidak biasanya Leon seperti ini, kembali mengarungi mimpi dan memeluk bocah 17 tahun dalam dekapannya, tetap berusaha berhati-hati sebab sebelah tangan Lio masih tertancap infusan.

"Dimana Lio?" Kenzi bertanya pada Angga dan Ghiffa yang masih berada dalam kelas, aura dominan begitu kuat menguar dari tubuh sang kakak kelas.

"Kita juga nggak tau kak, nggak biasanya Lio absen. Biasanya kalau sakit pasti bilang ke kita-kita yak?" Jawab Ghiffa dengan tenang sambil melemparkan pertanyaan pada Angga tentang kebiasaan Lio kalau sedang sakit. Yang ditanya hanya mengganguk membenarkan "ini kita juga bakal mau ke kost-annya, selepas sekolah mau mastiin aja dia nggak apa-apa" lanjutnya lagi berusaha tenang. Kenzi terdiam, mengingat tadi pagi dia sempat menelepon anak itu, dan kenapa juga Kenzi tidak ngeh suara Lio sedikit parau. Sial!!

"Emang semalam dia nggak ada ngabarin kalian gitu? Kan kalian tuh macam perangko sama lem" pertanyaan dari Abi, menarik kembali fokus Kenzi kepada kedua sahabat adiknya. Ghiffa meringis, dan Angga pura-pura meliarkan pandangannya, dan itu semua tidak luput dari perhatian; Kenzi, Gerry, Ferdy, dan juga Abi. "Kenapa diam?" Tanya Ferdy dengan mata memicing.

"Semalam kami ketemuan kok, lagi ngerjain tugasnya bu Susan, selepas itu kami main bentar dan setelahnya balik ke rumah masing-masing" jawab Ghiffa, memang benar mereka mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru sains mereka; bu Susan, setelahnya itu mereka bermain yang dimaksud Ghiffa adalah balapan.

Kenzi menghembuskan nafasnya kasar, baru sehari tidak ketemu dengan remaja itu sudah sukses membuatnya uring-uringan, menyugar rambutnya dan menetralkan emosinya yang meningkat. "Sepulang sekolah tungguin kami di parkiran" itu kalimat terakhir yang diucapkan Kenzi sebelum berlalu dari kelas MIPA¹. Seperginya Kenzi dan temannya, Angga bernafas lega.

"Gila-gila tuh orang, hah.. jantung gue please" ngaurnya karena sudah bingung ingin mengatakan apa. Ghiffa tidak memedulikan sahabat masa kecilnya itu, jarinya lebih memilih mendial nomor Lio yang sedari tadi tidak aktif sama sekali.

"Kemana sih tuh bocah" gerutunya yang tidak bisa menyembunyikan kepanikannya, "apa kita bolos aja ya?" Pertanyaan itu mengudara diantara Angga dan juga Ghiffa. " Please ini gue khawatir woyy" raut frustasinya tidak bisa ditolerir lagi.

Arlio Pradipta AlexanderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang