Setelah dari rumah sakit untuk memeriksa keadaan tangan Leon, atas paksaan Lio. Kini kedua pemuda beda generasi itu sudah berada dalam mobil menuju ke kediaman Alexander.
Sedari tadi Lio terlihat seperti gelisah, memikirkan kembali apa keputusan tiba-tibanya itu akan berdampak baik dan tepat. Duduknya tidak tenang, sesekali menggigit bibir bagian dalamnya atau menggigiti kukunya untuk pengalihan rasa resah. Jujur dia takut terjebak dan dikecewakan, apalagi ini tidak masuk akal.
"Nggak apa-apa Lio, kita coba dulu. Kalau mereka nggak sesuai ekspektasi, ayo pergi dari mereka. Nanti kalau ketemu sama mereka semua, lo harus minta sebuah kejelasan yang nggak ngerugiin diri lo sama sekali" teguhnya, menarik nafas dan membuangnya secara perlahan. Mencoba untuk memberikan kepercayaan kepada orang yang tidak pernah dia temui.
Yang paling tua hanya memperhatikan, tidak ingin menganggu sang adik yang sedang berperang dengan batinnya, berusaha memaklumi, siapa yang tidak terkejut atau berpikir ribuan kali jika dihadapkan oleh situasi seperti ini.
"K-kak, kita putar balik aja yah? Ke mansionnya kapan-kapan aja. I-ini, kayaknya gue berubah pikiran deh" Lio mencicit di akhir kalimatnya, tidak ada balasan apapun dari Leon yang sibuk menyetir. Jika dituruti, kapan adiknya bisa pulang ke tempat yang seharusnya menjadi rumahnya. Meremas seatbelt yang melintang di tubuhnya, Lio berusaha menutup mata dan berdoa untuk keselamatannya.
"Alexander bukan sembarang orang anjirr!! Dan gue? Kenapa harus gue????"
•
"Kak, gue to the point aja, lo tulus sayang sama sahabat gue?" Tanya Ghiffa yang terdengar sedikit ambigu. Sang lawan bicara belum menyuarakan jawabannya, Kenzi menatap sang lawan bicara dengan sorot dingin seperti biasanya, tapi sahabat Lio itu tidak merasa terintimidasi sama sekali.
"Iya!" Satu jawaban membuat Ghiffa mengangguk mengerti. Keduanya kini berada di sebuah cafe mengobrol empat mata yang hanya mereka yang tau.
Karena Ghiffa tidak menemukan Kenzi di sekolahan selama seminggu ini, jadilah anak itu meminta nomor sang kakak kelas pada sahabat yang bersangkutan, untungnya tidak banyak perbacotan jadinya cepat dapat. Langsung saja Ghiffa mengirimkan pesan pada Kenzi dan meminta waktunya sebentar untuk mengobrol hal penting tentang Lio, dan itu segera di setujui oleh Kenzi langsung.
Dan disinilah mereka berada, lantai tiga sebuah cafe terkenal dan room private.
"Lo beneran mau Lio jadi adek lo?" Tanya Ghiffa mulai ragu, kadang ekspetasi tidak sesuai dengan realita. Mengangkat satu alisnya, Kenzi sepertinya paham kemana arah pembicaraan ini tertuju.
"Setuju atau tidak, Lio akan menjadi bagian Alexander" dari sini, Ghiffa paham. Alexander menginginkan sahabatnya, apalagi nada yang digunakan sang kakak kelas begitu angkuh dan congkak.
"Kenapa?" Memperlihatkan smirknya, Kenzi meneguk americano yang hampir kehilangan dingin.
"Kamu pasti tau jawabannya, Ghiffari Pramudya" kekehan renyah mengudara, ketika melihat raut wajah adik kelasnya itu mengerut tidak suka. "... kamu tau bagaimana perangai Alexander kan? Jadi, tugasmu hanya menyakinkan adikku agar dia bisa segera kembali."
"Apa lo bisa janji sama gue?" Tanya Ghiffa, diamnya Kenzi membuatnya kembali mengeluarkan suara. "Janji sama gue ataupun Angga, lo dan keluarga lo itu nggak bakal nyakitin adek kami. Bisa?" Tuntutnya dengan wajah serius.
"Adik yang kamu maksud itu adalah adikku, tidak ada keluarga menyakiti anggota keluarga lainnya. Jika kamu ingin tau saja, adikku itu begitu memikat, keempat tertua di rumah berlomba-lomba ingin mengambil atensinya, jadi bagian mana yang ingin dia di sakiti, sedangkan hadirnya saja sangat di harapkan" helaan nafas lega Ghiffa hembuskan, dan terkejut juga Kenzi ini bisa berbicara panjang walaupun dingin dan datar, itupun hanya tentang sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arlio Pradipta Alexander
FanfictionArlio Pradipta namanya, bocah 17 tahun yang tinggal seorang diri karena kedua orang tuanya meninggal dunia akibat kecelakaan beruntun. Pemuda tampan tapi sedikit menyerempet cantik ada sedikit lucunya, anak beraura goodboy tapi berjiwa badboy. Arlio...