Sick

5.2K 336 31
                                    

"hiks.." Lio masih sesegukan dalam pelukan sang daddy, Andreas dengan gerakan kakunya mengusap punggung ringkih sang putra, mencoba melakukan dengan begitu lembut.

Melihat bagaimana cara sang anak bungsu memperlakukan cucunya, membuat Jesicca tidak bisa menahan senyum, anaknya yang kaku, keras dan arogan, bisa luluh pada seonggok remaja 17 tahun.

"Berhenti menangis son, nanti dadamu sesak!" Ujarnya sambil mengelus surai kecoklatan anaknya, Andreas berusaha membuat suaranya terdengar tidak dingin dan datar, walaupun jatuhnya seperti kaku. Lio tidak memberikan reaksi, badannya terasa dingin walaupun udara disekitarnya bersuhu normal. Semakin beringsut guna mencari kehangatan dari dekapan hangat daddynya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Abraham melirik kearah anak tengahnya, yang dimana Carlos masih teguh memaku tatap kearah Andreas, atau lebih tepatnya ke mahkluk kecil yang meringkuk di pangkuan sang adik dengan menyembunyikan wajahnya yang sembab.

"Tidak melakukan apapun, hanya menatapnya selama 5 menit tanpa berkedip, dan tiba-tiba dia menangis" jawaban datar itu membuat semua orang tercengang, kecuali Lio masih setia bersembunyi di dada bidang sang daddy.

"Bodoh!! Dia takut dengan wajahmu itu!!" Jerry tanpa filter mengatai adiknya sendiri, dan diberikan tatapan datar dari Carlos.

"Jangan mengumpat dihadapan bungsuku!!" Peringat Andreas tajam, dan menatap dingin kearah kedua kakaknya.

Abraham menghela nafas panjang, belum cukup satu jam bertemu dengan cucunya, tapi anak-anaknya ini sudah memperlihatkan taring masing-masing. Jessica, Amber dan Clarissa, cukup sebagai pengamat, biarkan para pria Alexander ini jatuh dalam kebucinan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

Darius ingin sekali memberikan salam jumpa pada papinya itu, apalagi sampai membuat adiknya menangis, tapi dia berusaha untuk menahannya, apalagi disini ada Lio-nya yang moodnya sedang tidak baik.

Sepertinya satu pikiran itu menular ke keturunan Andreas, terlihat dari tatapan ketiga adiknya itu juga seperti ingin menguliti sang papi.

"Ada apa dengan tatapan kalian itu?" Provokasi Jerry, seketika Darius, Marcell, Leon, dan Kenzi mendengus karena sang papi juga ikut menatap mereka.

Jerry tau, bahwa keempat ponakannya itu mempunyai dendam tersendiri ke adik pertamanya, begitu juga Carlos bisa merasakan adanya tatapan tajam yang tujukan pada dirinya.

Seringai terbit di bibir milik Jerry dan Carlos, ketika mereka mengetahui apa kelemahan dari adik dan keponakannya; Arlio.

"Da-daddy~~" Lio bergerak acak di pelukan daddynya.

"Ada apa hmm?" Suara berat itu mengalun lembut di telinga milik Lio, tangan besar dan beruratnya menahan pergerakan sang anak yang sepertinya tidak nyaman.

"Kepalanya aku sakit~" adu Lio dengan mata yang setia terpejam, dunia terasa berputar jika matanya dipaksa untuk terbuka. Tangannya hampir saja menjambak rambutnya, seandainya daddynya tidak sigap menahan tangan kecil itu untuk tidak menyakiti diri Lio sendiri.

"Apanya yang sakit nak?" Tanya Andreas tidak sabaran, bisa dirasakan suhu tubuh milik putranya meningkat.

"Se-semuanya sak-sakhit hiks.." Lio tidak kuasa dengan dirinya sendiri, semuanya sakit dan linu. Kepalanya, tubuhnya, apalagi sampai merambat ke dadanya yang kini mulai nyeri.

Air matanya merembes membasahi pipi tirus dan terlihat pucat, bibirnya kering dan sedikit terlihat adanya setitik noda darah disana. Andreas bingung harus bertindak seperti apa, ini terlalu mengejutkan dan dia belum pernah berada di posisi seperti ini sebelumnya.

Arlio Pradipta AlexanderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang