Kabur

5.8K 367 13
                                    

Pukul 03.40 dini hari.

Mata tajam tapi sayu itu mengerjap, ada sedikit keengganan untuk bangun, jika saja tidak merasakan aneh pada tekstur pada tempat tidur yang ditempatinya.

"Kok kasur tipis gue rasanya empuk ya?" Monolognya, sambil berguling-guling guna menyakini. Kakinya tidak tinggal diam, bergerak kesana-kemari tapi tetap saja rasanya tidak berubah. "Apa gue lagi mimpi? Mimpi dalam mimpi gitu, tiba-tiba jadi orkay?" Lanjutnya lagi sambil memeluk erat sebuah gulingan, menikmati sebuah kenyamanan yang belum tentu dia rasakan kembali. Tapi tidak bertahan lama, Lio membuka matanya lebar-lebar, setelah mengingat kejadian sebelumnya.

"Anjirrr" pekiknya langsung melompat dari tempat tidur. Btw, infusnya sudah dilepas, hanya meninggalkan plester putih kecil menempel di punggung tangannya. Suhu tubuhnya juga sudah kembali normal dan sekarang malah segar sebab banyak istirahat. Matanya beredar, mengeliling isi kamar yang begitu megah, tapi dengan warna yang gelap. "Buset dah nih kamar, segini nih udah kayak sepetak kost-an gue bjirr" kagumnya tapi ada sedikit takut juga.

Lio mengingat dia dan Leon sedang dalam sebuah perjalanan entah kemana,  tiba-tiba kepalanya sakit disertai dadanya sesak, Leon yang panik, dan terakhir tawarannya yang ingin Leon menjadi kakaknya. Lio menutup mata dan meringis malu. Astaga kenapa sebegitu sekalinya sampai dia bertingkah seperti itu.

"Arghh, malu-maluin banget gue. Bego dasar Lio bego" umpatnya pada diri sendiri, sambil memukul kepalanya dengan kepalan tangan. "Gue harus keluar dari sini. Takutnya tuh orang beneran bukan orang baik, awalnya aja manis eh lama-lama jadi pahit. Mana nih kamar nyeremin lagi. Coba kasih warna pink gitu, atau warna ungu kan menyala tuh" ujarnya sekali lagi melihat sekeliling kamar. Lio berjalan kearah balkon, mencari jalan untuk bisa melarikan diri dari tempat ini, dia tidak mau mati konyol, dijual organ tubuhnya atau di gilir ke rumah bordil.

Srakk..

Tirai gorden tersingkap, memperlihatkan pohon-pohon pinus menjulang. Mata Lio belum bisa melihat secara keseluruhan, sebab dibatasi oleh kaca. Tanpa babibu, Lio membuka pintu itu sebagai batasannya. Wow gelap gulita tapi indah. Batinnya berteriak, suasana pagi buta itu begitu cantik, dengan pohon pinus sebagai objeknya seakan-akan seperti pemandangan yang tergambar diatas sebuah kanvas. Angin waktu fajar berhembus, membuat rambut halus Lio ikut berantakan, memeluk tubuhnya sendiri untuk menghagatkannya dari kedinginan, giginya bergemelatuk merasakan hawa dingin sampai membuat tulang-tulangnya terasa linu. Lio sendiri tidak peduli dengan sekitar, padahal dia ada alergi pada suhu rendah tersebut yang bisa mengancam akan nyawanya. Menengok kebawah untuk mengukur ketinggian bangunan ini, "sial, lantai lima cok!!" Serunya dengan heboh. Matanya berbinar ketika ada lampu imaginer yang terlintas di kepalanya, ketika melihat ada sebatang pohon yang bisa dijadikan bantuan.

Berjalan kesana-kemari untuk melihat situasi, Lio terkejut bukan main rumah megah ini dijaga oleh puluhan orang berbaju hitam, kacamata hitam dan juga di sisi telinga mereka ada sebuah tw. Sepertinya dewi fortuna sedang berbaik hati padanya, pasalnya para bodyguard itu tidak ada yang berjaga di sekitar kamarnya.

"Semoga kita nggak pernah ketemu lagi ya kak Leon? Makasih udah nolongin gue tadi, anggap aja penawaran tadi itu hanya sebuah lelucon. Lagipula lo cuman diem aja, jadi gue anggap itu nggak pernah gue ucapin. Lagipula keknya lo nih macam orang sibuk, atau termaksud pembunuh berantai, gue nggak mau lo ada dalam hidup gue pokoknya. Selamat tinggal, gue mau minggat" Lio masuk dalam kamar untuk mengambil selimut dan seprai yang dijadikannya tali tambang, tidak lupa mengambil hoodie entah milik siapa untuk dia gunakan agar tidak terlalu kedinginan, menautkan ujung keduanya dan kini Lio mengikatnya di pembatas balkon, walaupun tidak sampai kelantai bawah, setidaknya ada perantaranya untuk turun.

Arlio Pradipta AlexanderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang