Balapan dan Tawuran

3.9K 283 12
                                    

Sudah lima hari berlalu, Lio merasa hidupnya begitu tenang dan damai, tanpa adanya sosok Kenzi dan kawanannya berada disekitarnya. Harinya begitu menyenangkan, bisa melakukan semua hal yang biasa dilakukannya tanpa harus takut akan sebuah pengawasan. Dari hari dimana Lio bertemu dengan Leon, disitulah Kenzi menghilang dari penglihatannya, bahkan arena balap yang ada orang suruhannya saja seperti menghilang.

Tentu itu semua membuat Lio bahagia bukan main, langka dan tingkahnya tidak akan ada yang mempermasalahkannya sama sekali. Sama seperti hari ini, dia, Angga dan Ghiffa sedang berada di warungnya PakTam, menikmati sepiring gorengan hangat ditemani secangkir kopi panas milik Angga, es teh milik Ghiffa, dan segelas susu hangat milik Lio.

Mereka berada disini, disaat pembelajaran sedang berlangsung, alias bolos. PakTam sampai geleng-geleng kepala, dikiranya beberapa waktu sudah tidak berkunjung sudah tobat tapi sekarang? Beliau yang paruh baya sudah tidak bisa berkomentar banyak.

"Bapak kira kalian udah tobat?" Kelakarnya, melihat ketiga remaja itu begitu menikmati gorengannya.

"Hah? Kita tobat? Wkwkwk, nanti ajalah pak. Kalau udah ada dari kita yang jadi anak pingitan" balas Angga dengan senyum misterius, ujung matanya mengarah ke Lio yang tidak menyadarinya.

"WKWKWK rada lucu juga yah, anak cowok jadi anak rumahan! Untung juga gue udah jadi yatim-piatu hiks" dark jokes itu terlontar dari bibir tipis kepunyaan Lio, yang langsung saja ditarik oleh Ghiffa dengan gemas.

"Congornya!!" Tak menghiraukan gerutuan tak jelas milik Lio.

"Ghiffa anak anjing!! Anak babi, kont--" lagi dan lagi bibirnya di tarik oleh orang yang sama.

"Apa hmm?" Ghiffa dengan tatapan dinginnya mengarah ke Lio.

Angga tidak bisa menahan tawanya, melihat Lio yang seperti ikan terkapar, mulutnya mangap. "Jadi yang bener mana nih? Anak anjing atau anak babi?" Kompornya, sambil menaik turunkan alisnya. Yang langsung saja diberikan bombastic side eyes dari Ghiffa.

PakTam hanya tertawa ringan, lucu sekali melihat anak SMA seperti mereka tapi mulutnya begitu licin. "Sudah-sudah, kasian tuh nak Lio-nya." Lerainya, segera saja Ghiffa melepas tangannya dari bibir Lio. Mengusap singkat bibir sang korban, yang dibalas cebikkan jengkel sang sahabat. Tawa Angga membahana, mengusap sudut matanya yang berair, humornya begitu receh, sampai-sampai hal seperti ini bisa membuatnya tertawa terbahak-bahak. Lemparan bakwan dari Lio saja tidak menyurutkan tawanya.

"Lebih baik kalian kembali ke sekolah, sudah mau waktu pulang ini" PakTam bukannya tidak suka jika tiga biang kerok itu berada disini, hanya saja mereka tidak akan lama lagi mengikuti ujian akhir semester, walaupun mereka cerdas tapi belajar juga dibutuhkan untuk mengasah kemampuan belajar.

"PakTam ngusir kita?" Lio berucap dengan dramatis, sambil memegang dadanya dengan ekspresi wajah seperti tersakiti.

"Nanggunglah pak, sekalian aja bel pul---"

Kringgg~~~

"Nah itu dah bunyi, yok lah babi-babiku kita cabut. Soalnya ada bisnis yang harus di kerjain" Angga bangkit dari duduknya dan kembali menyeruput kopinya yang sudah dingin, meletakkan selembar kertas bergambar pak Soekarno-Hatta dengan senyum cerahnya. Diikuti oleh Ghiffa juga Lio.

"Ini kalian bayarnya sendiri-sendiri? Tanya PakTam memastikan.

"Iya!!" Jawab ketiganya serempak.

"Seperti biasa PakTam hehehe" cengiran milik Angga membuat Lio mengulum bibirnya.

"Tapi masalahnya, hari ini warung lagi sepi. Jadi duit receh belum banyak" ujarnya sedikit risau.

"Kalau nggak ada duit receh, yah duit gede aja nggak sih" canda Lio sambil menunjuk uang seratus ribu yang tergeletak di atas meja. Diangguki oleh Angga dengan senyumannya.

Arlio Pradipta AlexanderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang