Usai membersihkan kepalanya yang terkena kotoran burung di toilet, Nana mengikuti Marina ke taman sembari menunggu kelas pagi mereka dimulai, sementara Elis masih bertahan di toilet untuk menelepon sang kekasih.
Ya, ternyata Elis sudah berbaikan dengan pacarnya entah bagaimana. Nana merasa penasaran dengan apa yang terjadi semalam, tetapi Elis mengatakan akan menceritakannya setelah kelas pertama selesai.
"Kamu jadinya diajak ngebuntutin pacarnya, nggak?" tanya Nana yang sudah tidak bisa menahan rasa ingin tahu. "Kalo iya, hasilnya gimana?"
Marina mengalihkan pandangannya dari ponsel untuk menatap sang sahabat yang baru saja bertanya. Ia tak langsung menjawab, dan malah menunjukkan senyum kecut yang bisa Nana artikan sebagai sesuatu yang negatif.
"Revan beneran selingkuh. Awalnya dia ngakuin cewek itu sebagai sepupunya, tapi Elis yang nggak percaya terus neken dia, dan yah ... Revan akhirnya ngaku juga. Bahkan mereka pernah check in ke hotel juga," jelas Marina kesal sambil menarik napas panjang, lalu melanjutkan, "aku pikir hal itu udah nggak bisa ditoleransi karena mereka udah kayak gitu, sementara sama Elis aja belum, tapi ...."
"Tapi Elis milih buat ngasih kesempatan buat dia?" sela Nana.
Marina mengangguk lesu dengan mulut yang agak maju. "Iya. Dia bilang bakal ngasih kesempatan sekali lagi karena setiap manusia punya salah, dan mereka harus dikasih kesempatan seenggaknya sekali buat memperbaiki diri."
"Aku nggak tau Elis bisa ngomong hal sebijak itu," ucap Nana terkekeh pelan mengingat kembali tentang betapa kasarnya mulut Elis yang bar-bar itu. "Omongannya nggak salah, sih, tapi setau aku selingkuh itu habit yang susah diubah."
"Iya, kan? Aku juga mikir gitu setelah berkaca sama ayah sendiri. Aku udah bilang, ayahku juga tukang selingkuh dan nggak berubah sampe Bunda meninggal, tapi Elis bilang Revan bukan ayahku, dan ayahku bukan patokan buat semua cowok."
Saat mengatakan itu, Nana bisa merasakan kekesalan dari intonasi suara Marina. Bukan hanya intonasi, tetapi raut wajah gadis itu juga menunjukkannya dengan jelas meskipun dengan cepat berubah menjadi wajah lembut nan ramah seperti biasa.
"Aku nggak tersinggung dibilang gitu, cuma agak sebel ngeliat Elis yang keras kepala. Gimana kita harus ngeyakinin dia, Na?" Marina menaruh ponselnya ke dalam tas lalu menatap Nana sayu. "Aku nggak mau ngeliat Elis berakhir kayak Bunda."
Ah, aura tokoh utama memang tidak main-main. Alih-alih fokus pada pembicaraan mereka, Nana malah tertegun sesaat melihat betapa menawannya Marina yang menatapnya penuh harap itu. Mata bulat besar bak boneka, pipi gembil menggemaskan, dan bibir kecil berbentuk hati itu mampu membuat Nana terpesona melebihi saat ia melihat Dave.
Nana jadi iri, sungguh.
"Na!"
Nana mengerjapkan mata, kembali pada kenyataan ketika tangan kecil Marina menepuk pipinya pelan.
"Iya? Kamu ngomong apa tadi?" tanya Nana gelagapan, tetapi sebelum pertanyaannya sempat dijawab, Nana yang sudah mengingat kembali inti obrolan mereka langsung menambahkan, "oh, kamu tadi nanya gimana caranya ngeyakinin Elis, kan?"
Marina mengangguk lagi dengan kedua pupil matanya yang masih menatap sang sahabat penuh harap. Tampaknya, gadis itu benar-benar memikirkan perasaan Elis ke depannya. Nana mengerti perasaan itu, tetapi sebagai seseorang yang sering menghadapi orang bucin meski dirinya jomblo mengenaskan, Nana memilih untuk tidak ikut campur.
"Nggak usah buang tenaga buat ngeyakinin dia," ujar Nana santai, tak menampakkan sedikit pun kekesalan setalah mendengar cerita Marina. Gadis itu lantas menarik lengan Narin lembut menuju salah satu kursi batu di taman sambil melanjutkan kalimatnya. "Dari jawaban dia yang kayak gitu aja kamu udah tau itu sia-sia. So, let her be."
KAMU SEDANG MEMBACA
Joyful For Me
FantasySebagai jomblo dari lahir sampai usianya dewasa, Nana sangat menghindari hiburan bergenre romantis, karena itu akan memicu rasa iri yang teramat sangat di dalam hatinya. Melihat bagaimana tokoh utama diperlakukan bak ratu oleh pasangan mereka, atau...