"Woah, Kakakku makin tamvan!"
Pipi Rafa yang sudah merona semakin memerah begitu mendengar pujian yang dilontarkan Nana padanya. Pemuda itu sudah cukup malu oleh pujian bertubi-tubi dari pemilik salon serta salah satu pelanggan yang tampak terpesona dan langsung meminta akun media sosialnya.
Hanya karena merapikan rambut dan mengubah gaya berpakaian, Rafa sudah terlihat menarik perhatian. Meskipun masih kurus, tetapi ketampanan miliknya tetap terpancar dan membuat beberapa gadis melirik ketika ia dan Nana berjalan beriringan ke halte bus untuk untuk berpindah tujuan ke pasar.
"Kak, kalo keuangan kita udah longgar, kredit motor, yuk," usul Nana sambil menyenderkan kepalanya ke bahu lebar Rafa. "Punya kendaraan pribadi itu lebih mudah dan murah. Mau pergi ke manapun bebas. Iya, kan?" Ia mengangkat kepala, mendongak untuk menatap Rafa yang tampak gusar.
"Kamu bener," jawab Rafa sambil tersenyum, tetapi kegugupan kentara begitu jelas di wajahnya.
Nana memahami itu lantas mengusap bahu lelaki itu pelan sambil berucap menenangkan. "Semua bakalan baik-baik aja. Aku bisa naik motor, kok. Jadi, kalo kamu nggak berani, biar aku boncengin. Aku bakal jadi ojek buat Kakak."
Rafa hanya tertawa kecil, sebuah tawa yang masih menyimpan kegugupan di sana. "O-oke," ucapnya lirih.
Dari penyelidikan kecil-kecilannya, Nana bisa mengetahui bagaimana mereka berdua berakhir tidak memiliki kendaraan pribadi. Dulu, keluarga kecil ini mempunyai satu mobil sedan dan motor. Namun, mobil sedan mereka rusak parah akibat kecelakaan dan perlu banyak perbaikan yang memakan biaya cukup besar.
Sedangkan motor mereka hilang setelah dibawa kabur oleh salah satu warga komplek perumahan alias tetangga. Motor itu hilang bersama peminjamnya yang telah pergi entah ke mana. Rafa sudah melapor ke pihak yang berwajib, tetapi hingga kini belum juga ditemukan. Padahal meski sudah lama tidak dipakai, motor itu tetaplah harta yang berharga.
Mengapa tidak membeli motor baru? Karena Rafa dan mungkin juga Renata sendiri masih menyimpan trauma akibat kecelakaan kedua orang tua mereka, hingga tidak berani mengendarai kendaraan sendiri dan memilih untuk naik kendaraan umum.
"Ah! Capek! Tapi seru!" seru Nana senang sembari menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu.
Nana bersantai usai menaruh barang-barang ringan di atas meja, sementara Rafa menenteng dua kantong besar berisi bahan makanan ke dapur, lalu keluar lagi untuk mengambil dua kardus yang tersisa. Semula, Nana ingin membantu, tetapi Rafa menolak dan menyuruh gadis itu agar beristirahat saja.
"Dek, ikan sama dagingnya dicuci dulu sebelum dimasukin freezer, kan?" tanya Rafa dari dapur yang rupanya belum ingin menyusul sang adik yang bersantai di ruang tamu. Meski bertubuh kurus, Rafa bukanlah lelaki lemah yang kurang energi.
"Nggak usah, Kak." Nana menjawab sambil mengunyah permen jeli. Ia baru akan melanjutkan kalimat, tetapi Rafa sudah bertanya lagi.
"Nggak usah dicuci?"
Nana menjawab lagi. "Bukan. Biar aku yang nyusun bahan makanan di kulkas. Kamu rehat aja sini."
"Kakak belum capek kok, Dek," balas Rafa yang tampaknya masih bersikeras membantu. "Kalo kamu nggak percaya sama Kakak, biar Kakak nyusun yang lain aja, ya?"
"Nggak," sahut Nana tetap memberikan penolakan sambil beranjak ke dapur, lalu berdiri di samping Rafa seraya berkacak pinggang. "Aku mau nyusun dapur sesuai keinginanku sendiri. Kakak nggak tau gimana, kan?"
Rafa mengangguk kaku. Lelaki itu menaruh kembali tepung di tangan ke atas meja dapur. "Kakak emang nggak tau, tapi seenggaknya bisa bantu. Kamu tinggal ngasih instruksi aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Joyful For Me
FantasySebagai jomblo dari lahir sampai usianya dewasa, Nana sangat menghindari hiburan bergenre romantis, karena itu akan memicu rasa iri yang teramat sangat di dalam hatinya. Melihat bagaimana tokoh utama diperlakukan bak ratu oleh pasangan mereka, atau...