Satu suapan terakhir sudah ditelan, bubur di dalam mangkuk sudah bersih tak bersisa. Sungguh menyenangkan sekali bagi Rafa melihat sang adik menikmati makanan buatannya setelah gagal lima kali.
Hatinya terasa amat sejuk bagai tanaman di tanah tandus yang disiram air dingin. Sejuk dan segar. Sudah lama sekali ia menunggu interaksi semacam ini semenjak kecelakaan yang merenggut nyawa orang tuanya. Sudah lama dirinya mengharapkan senyum Renata yang ditujukan khusus untuknya. Sudah empat tahun.
Matanya memanas lagi, tapi Rafa berusaha menahan diri agar tidak menangis. Ia lelaki, menangis hanyalah hal yang memalukan bagi lelaki. Bisa saja Renata merasa terganggu dengan sifat cengengnya ini dan gadis itu akan kembali berubah seperti tiga hari yang lalu, sebelum kejadian jatuh dari tangga.
Rafa tidak mau itu terjadi, ia akui kalau memang dirinya bersalah atas kecelakaan itu. Andai saja, andai saja Rafa tidak meminta mereka datang ke acara pentas seni untuk menonton aktingnya di drama sekolah, maka dua orang tersayangnya itu tak akan mengalami kejadian nahas itu. Kecelakaan beruntun empat tahun lalu. Andai saja ia membiarkan mereka menemani sang adik yang sedang sakit.
Rafa mengakui dan menyalahkan dirinya sendiri hingga di titik di mana ia dihantui mimpi buruk tiap malam, tetapi lelaki itu tetap mengharap Renata mau memaafkannya dengan sepenuh hati, menerimanya lagi sebagai keluarga. Rafa tahu itu egois, tapi ia masih ingin hubungan mereka membaik.
"Kakak ngurusin aku kayak gini apa nggak capek? Bukannya Kakak sibuk?"
Pertanyaan Nana membuyarkan lamunan Rafa. Lelaki itu segera menggeleng cepat lalu menaruh mangkuk kosong ke atas nampan. Diraihnya gelas berisi air putih hangat dan beberapa pil untuk sang adik. "Tugas kuliah udah dicicil. Nih, minum. Sekalian minum obatnya biar demam kamu nggak naik lagi."
Nana menerima air putih dan obat itu, segera ia telan tiga biji pil berbeda ukuran kemudian menenggak habis air putih di dalam gelas. "Makasih," ucapnya, "tapi Kakak ada kerjaan editing juga, kan?"
"K-kamu tau?" Rafa bertanya gugup. Selama ini pekerjaan sebagai editor lepas hanya ia yang tahu. Rafa sengaja tidak memberitahu siapapun mengenai pekerjaannya ini untuk menghindari gosip.
Semua orang mengira Rafa dan Renata bergantung pada warisan kedua orang tua mereka untuk memenuhi biaya hidup, tidak ada yang tahu kalau Rafa menghukum dirinya sendiri dengan bekerja agar tidak menggunakan uang warisan demi kebutuhan pribadinya.
Sudah begitu pun, Rafa tetap dibuat pusing oleh penghitungan kasarnya. Dari perhitungan itu, uang warisan mereka makin menipis.
Beberapa hari terakhir sebelum Renata jatuh, Rafa sudah berpikir untuk memberitahu agar mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan tersier, tapi mulutnya amat berat untuk berkata.
"Iya. Kemaren aku nggak sengaja ngeliat ke laptop Kakak waktu Kakak ketiduran di meja." Nana berdusta. Ia hanya menerka dari kebiasaan teman satu kosnya dulu yang sering tertidur di atas meja karena kelelahan dengan buku atau laptop masih terbuka.
"Ah, iya." Rafa menunduk, memikirkan tentang pembahasan mengenai pengeluaran sehari-hari. Namun, urung sebab sadar kondisi Renata yang belum membaik. "Buat cari pengalaman. Ya udah. Kamu lanjut istirahat, ya. Kakak keluar dulu."
Nana menurut, berbaring setelah Rafa menutup pintu kamar lantas menarik selimut sampai leher. Demam yang menyerang pasca jatuh dari tangga membuat suhu tubuhnya naik tapi ia menggigil kedinginan. Sangat tidak nyaman.
"Oya, Renata."
Kelopak mata Nana yang hampir menutup terbuka kembali mendengar panggilan Rafa dari luar pintu. "Iya?"
Hening sejenak, terdengar helaan napas dua kali dari Rafa. "Boleh Kakak manggil kamu kayak dulu?" Ia bertanya, tersirat keraguan dari suaranya yang pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Joyful For Me
FantasySebagai jomblo dari lahir sampai usianya dewasa, Nana sangat menghindari hiburan bergenre romantis, karena itu akan memicu rasa iri yang teramat sangat di dalam hatinya. Melihat bagaimana tokoh utama diperlakukan bak ratu oleh pasangan mereka, atau...