"K-kamu Frisqi?!" Nana bertanya dengan suara keras setelah meludahkan nyamuk yang masuk ke mulutnya, tak mengacuhkan tatapan heran dari orang-orang yang berada di halte. "Bocah bau kemenyan yang dulu nembak aku, terus karena ditolak malah ngirim guna-guna?!"
Nana bahkan tidak mau repot-repot menyaring ucapan, dan memberikan deskripsi lengkap tentang siapa orang yang ada dalam pikirannya. Hal itu tentu saja membuat orang-orang mengernyit, bahkan dengan sengaja menjaga jarak aman dari Nana.
Akan tetapi, lagi-lagi Nana tidak peduli. Karena yang ia butuhkan adalah kepastian setelah dibuat kaget oleh ucapan lelaki gemuk yang kini berdiri di depannya.
Gadis itu kemudian menggeleng cepat sambil tertawa kaku. "Nggak mungkin!" serunya tak percaya. "Kamu nggak mungkin Frisqi anak Mbah Sutejo yang aku maksud! Nggak ...."
"Mbak Rena!"
Kedua kelopak mata Nana yang menutup, secara refleks membelalak lebar, kala sebuah tepukan kuat mendarat di bahu, disertai seruan seorang lelaki yang memanggil namanya. Nana bergeming untuk sesaat dengan wajah bengong, kantung mata yang merah, dan air liur yang perlahan mengalir turun dari sudut bibir.
"Maaf, Mbak. Bukan maksud saya buat ganggu tidurnya, tapi ada bus yang berhenti, tuh," kata lelaki yang tadi menyerukan nama Nana, tapi belum ada reaksi sebab gadis berambut sebahu itu belum sadar sepenuhnya. "Mbak?"
Nana yang masih bengong dalam keadaan bersandar pada tiang halte itu lantas berjengit kaget, ketika merasakan sebuah remasan kuat di bahu kanan.
Nana secara spontan menepis kasar tangan siapapun itu yang telah berani menyentuhnya sembarangan. Kemudian menoleh dengan wajah masam, bersiap untuk mengonfrontasi.
Bagaimana pun, kini dirinya berada di luar sendirian, malam-malam, hingga rawan mendapatkan pelecehan. Entah itu ringan maupun berat.
Namun, keinginan untuk marah-marah sirna seketika begitu Nana mengetahui si pelaku. Wajahnya kembali bengong seperti orang bodoh begitu mendapati wajah lelaki berkacamata yang sangat familiar, meskipun baru bertemu secara langsung tadi sore. Elio, rekan kerjanya sekaligus tokoh lelaki yang berhasil mendapatkan Marina.
"Met malam, Mbak," sapa Elio seraya tersenyum ramah. Suaranya yang berat entah bagaimana terdengar lembut. "Maaf bangunin kamu, tapi ada bus yang berhenti, tuh. Takutnya itu jurusan kamu."
Kelopak mata Nana mengepak pelan, otaknya yang masih mengalami loading, dan baru benar-benar sadar oleh sentilan ringan di dahinya. Elio menyentuhnya lagi sambil menunjukkan senyum yang tidak pernah luntur.
"Maaf, Mbak. Besok silahkan bales, deh. Tapi sekarang tolong liat apa itu beneran bus ke rumah kamu, atau bukan. Kasian penumpang lain yang udah nunggu."
Seperti anak kecil yang menuruti ucapan orang dewasa, dengan polosnya Nana menoleh ke arah bus yang berhenti tepat di depan halte, dan benar. Itu memang bus yang harus ditumpanginya agar bisa pulang.
Namun, ada yang aneh. Nana menyadari beberapa orang menatap ke arahnya sambil mengernyit seolah merasa jijik. Ada juga yang menutup mulut lalu mengalihkan pandangan ke arah lain ketika bersitatap dengan Nana.
"Permisi," ucap Elio. Dengan sopan, tapi tanpa menunggu jawaban, ia meraih tangan Nana lalu mengarahkannya ke dagu gadis itu yang agak basah. "Kamu ngiler, Mbak. Makanya diliatin. Dilap, gih."
Nana tercengang oleh perilaku Elio yang terkesan manis, tapi sangat menusuk ulu hati sehingga membuatnya merasa malu dan sebal. Segera gadis itu mengusap air liur dengan kain lengan kemeja bagian atas, tanpa melepaskan lirikan tajamnya dari wajah menyebalkan Elio yang masih tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Joyful For Me
FantasySebagai jomblo dari lahir sampai usianya dewasa, Nana sangat menghindari hiburan bergenre romantis, karena itu akan memicu rasa iri yang teramat sangat di dalam hatinya. Melihat bagaimana tokoh utama diperlakukan bak ratu oleh pasangan mereka, atau...