Waktu seakan bergerak lambat bagi Nana yang telah menunggu jawaban dari mulut pemuda di depannya ini. Sudah berlalu beberapa menit sejak Nana menanyakan pertanyaan pertama, tetapi sampai sekarang belum juga terjawab.
Jari telunjuk Nana mulai mengetuk-ngetuk meja, merasa tak sabar setelah melihat jam yang tertera di layar ponselnya terus berjalan. Tujuh menit. Sudah lewat tujuh menit ia duduk dalam keheningan, menatap Dave yang menunduk diam di kursinya bagai patung tak bernyawa.
Serius, lelaki cantik ini sedari tadi begitu minim gerakan. Jikalau tidak ada suara embusan napas serta kedipan-kedipan lambat dari kelopak matanya, Nana sudah pasti mengira Dave sudah mati sambil duduk, karena benar-benar tidak ada pergerakan lain selain dua hal itu.
Ini sangat membuang waktu. Kalau bisa, Nana ingin sekali beranjak pergi meninggalkan Dave bersama tingkah anehnya sendiri, tapi tekadnya untuk memperjelas hubungan mereka berdua lebih kuat.
Tidak. Sebenarnya Nana sedang berusaha menahan diri, seperti ia menahan diri untuk tidak memukul kepala Dave yang entah isinya apa. Nana mulai penasaran dengan itu. Ia tahu, semua makhluk hidup memiliki otak, tetapi manusia punya pola pikir dan itulah yang ingin Nana ketahui.
"Aku ...." Dave bersuara pelan, sangat pelan sampai-sampai hampir saja tenggelam oleh suara lain di dalam kafe ini.
Namun, sebagai orang yang telah menunggu cukup lama dan juga duduk di tempat yang sama dengan Dave, Nana tetap bisa mendengarnya. Ketukan jari Nana di atas meja berhenti seketika, bersamaan dengan perhatiannya yang kembali terfokus pada lelaki itu.
"Aku nggak tau maksud kamu apa nanyain gitu, tapi pilihan itu terlalu sulit buat dijawab," lanjut Dave dengan suara yang masih pelan. "Tolong jangan egois, jangan neken aku lagi, Kak. Ini bikin aku makin stress, bikin otak aku makin buntu. Kamu tau, Kak? Akhir-akhir ini aku lagi punya masalah yang bikin aku sampe ngonsumsi obat tidur, bikin aku nggak selera makan, bahkan rasanya aku pengen banget ngerokok kayak dulu, tapi demi kamu, aku nahan itu."
Siapapun, tolong Nana untuk menahan diri agar tidak muntah saat ini juga. Bukan hanya wajah Dave yang memelas, tapi semua ucapan yang keluar dari mulut lelaki itu telah berhasil mengaduk-aduk isi perut Nana yang sudah terisi penuh.
"Sebenernya aku nggak mau nyeritain ini karena takut kamu kepikiran ..."
Tidak. Nana yakin seribu persen tidak akan kepikiran sama sekali tentang apapun masalah yang menimpa Dave. Ia yakin dua ribu persen kalau itu hanya karangan bebas untuk menarik simpati Nana.
"... beberapa hari yang lalu, aku dituduh ngerusak laptop orang, padahal aku sama sekali nggak ngekuin itu. Waktu itu, aku emang lagi apes, salah waktu dan tempat sampe nggak ada yang percaya."
Dave menaruh kedua tangannya di atas meja, meremas satu sama lain sambil terus bercerita. "Yang punya laptop itu emang benci sama aku, tapi aku juga nggak mau nuduh kalo itu kelakuan dia sendiri."
Pemuda yang semula menunduk itu mengangkat wajahnya, membalas tatapan datar Nana dengan mata sayu menandakan kesedihan. "Karena waktu itu aku lagi pusing ngurusin file video, aku jadi nggak mau punya masalah lain yang bakal bikin kepala makin pusing. Aku kasih aja dia uang seharga laptop itu, berharap kalo masalah bakal selesai di situ. Tapi nggak. Setelah itu, malah beredar gosip kalo uang yang aku punya ini bukan dari konten video, tapi dari tante-tante girang."
Nana kembali mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuk sambil menopang dagu menggunakan tangan satunya, menunjukkan ekspresi wajah malas yang begitu kentara agar Dave menyadari betapa enggan Nana berada di sini hanya untuk mendengarkan curahan hatinya.
Namun, entah karena tidak peka atau memang sengaja menutup mata, Dave tetap meneruskan celotehannya. "Aku udah pernah cerita, kan? Kalo dari dulu emang ada gosip kayak gitu, tapi banyak yang nggak percaya. Tapi kali ini nggak. Apalagi kemarin beredar foto aku meluk perempuan dewasa di forum sekolah. T-tapi bukan kayak gitu, Kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Joyful For Me
FantasySebagai jomblo dari lahir sampai usianya dewasa, Nana sangat menghindari hiburan bergenre romantis, karena itu akan memicu rasa iri yang teramat sangat di dalam hatinya. Melihat bagaimana tokoh utama diperlakukan bak ratu oleh pasangan mereka, atau...