4. Tiga Sekawan

2.6K 260 6
                                    

Pada hari keenam. Punggung Nana belum sembuh sepenuhnya tapi sudah jauh membaik. Jadi, hari ini ia memutuskan untuk memulai kegiatan beberesnya yang sudah direncanakan dua hari lalu. Oh, dan ia baru menyadari sesuatu. Rafa melarangnya turun ke bawah murni karena khawatir, bukan karena takut Nana melihat parahnya rumah ini.

Sepertinya kakak-adik ini memang dasarnya pemalas. Namun, melihat kamar Renata yang bersih, lebih tepat kalau gadis itu disebut tidak peduli selama kamar yang merupakan ruang pribadinya bersih. Entah dengan Rafa.

"Oh? Bajunya udah nggak ada," ujar Nana saat melihat sofa yang bersih dari pakaian dari atas tamgga, tidak seperti sebelumnya. Pasti sudah Rafa bawa ke laundry semua.

"Jadi, mulai dari mana?"

Nana turun, berdiri di ruang tamu dekat pintu dapur. Matanya bergantian menatap dua ruangan itu sambil menimbang manakah yang harus didahulukan.

"Ruang tamu dulu aja, deh." Ia memutuskan. Kemudian dimulailah kegiatan membersihkan rumah bak gudang itu. Dimulai dari membuka semua jendela agar cahaya matahari dan angin masuk, melepas gorden kusam penuh debu, dan mengelap debu di perabotan sebelum menyapu lantai.

Semua itu dilakukan dalam waktu setengah jam. Setelah itu, dilanjutkan dengan menyapu lalu menggeser perabotan yang bisa digeser dengan kekuatannya. Pekerjaan yang ini cukup melelahkan dengan keadaan punggung yang masih sedikit sakit. Namun, Nana tetap melakukannya.

Selesai menyapu Nana membanting tubuhnya di atas sofa untuk beristirahat di depan kipas angin yang menyejukkan tubuh penuh keringatnya. Menarik napas dalam karena merasa senang melihat ruangan ini yang jauh lebih bersih. Tinggal mengepel dan membersihkan sarang laba-laba di langit-langit.

Melihat ponsel, jam juga sudah menunjukkan pukul 12.34 WIB yang artinya waktunya makan siang. "Waktunya go food!" ucapnya antusias membuka aplikasi. "Pesen apa, ya?" Jarinya menggulir daftar makanan yang tertera sambil melihat foto dan rating yang meyakinkan. Tidak lupa juga melihat harga agar tidak terlalu boros.

Pilihannya jatuh pada menu ayam geprek. Melihat porsi nasinya yang sedikit, Nana pun membeli dua porsi. Untuk air minum, di dapur sudah ada air galon jadi tidak perlu membeli. Pesanannya datang setelah dua puluh menit berlalu dan dimakan habis hanya dalam sekejap karena Nana sudah kelaparan. Ia bahkan sempat tersedak saking rakusnya.

Semenit setelah suapan terakhirnya, bel rumah Nana berbunyi. Seorang ibu-ibu datang membawa dua kantong besar pakaian dari laundry.

Sudah istirahat, sudah makan juga. Nana masih duduk santai di sofa mengelus perut buncitnya yang penuh makanan, membiarkan makanan itu turun dan dicerna dengan baik sebelum lanjut beberes sampai pukul tujuh malam.

Untuk makan malam, Nana hanya memasak mie instan untuk mengganjal perut setelah mandi kemudian tidur. Esok harinya, gadis itu lanjut membersihkan dapur. Tempat itu jauh lebih menantang karena adanya bau busuk bekas makanan yang belum dibuang. Bayangkan saja sampah organik didiamkan dalam waktu lama. Nana bahkan harus mengenakan masker agar tidak muntah.

Anehnya, kamar mandi mereka cukup bersih meski di dalam bak semen terdapat banyak jentik-jentik serta dinding keramiknya kotor. Maksudnya lantai dan klosetnya tidak lumutan atau berbau. Namun, bagi Nana itu tetap saja kotor.

Hari kedelapan waktunya mencuci semua kain kotor. Di rumah ini ada mesin cuci, tapi mungkin karena tidak ada dryer hingga harus menjemur lagi di luar ruangan, Rafa dan Renata jadi malas menggunakannya. Berbeda dengan laundry yang langsung dilipat rapi saat datang.

Pekerjaan mencuci ini tidak terlalu melelahkan tapi memakan waktu lama. Di tengah menunggu mesin cuci berhenti, Nana duduk di sofa sambil membalas pesan dari Rafa. Selama berada di luar kota, tepatnya Surabaya, lelaki itu tidak terlewat seharipun menanyakan kabar adiknya, mengirim foto saat berada di tempat wisata sambil berjanji akan mengajak Nana pergi bersama suatu hari nanti.

Joyful For MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang