6. Tertolak

2.5K 295 24
                                    

Setelah lari dari Kevin yang sombong, Marina mengajak Nana untuk duduk di taman menunggu Elis sambil makan cemilan ringan. Mereka makan dengan lahap dan riang sampai seorang lelaki tampan berseragam SMA yang ditutupi jaket hitam datang menghampiri dengan semburat merah di kedua pipinya.

Nana yang sudah paham akan tempatnya sebagai obat nyamuk, hanya bisa memutar duduk untuk menghindari pemandangan romantis berhias kerlip-kerlip serta bunga warna-warni layaknya komik romantis. Tidak lupa penutup telinga sebagai penghalang suara.

"Dave, kenapa ke sini? Belum waktunya pulang sekolah, kan?" tanya Marina.

Dave tersenyum simpul lalu menjawab, "Hari ini pulang cepet. Soalnya guru ada rapat." Ia lalu beralih menatap Nana yang menggeser deretan judul lagu di ponselnya.

"Kak Rena, boleh minta waktunya sebentar?" tanya lelaki itu dengan suara halusnya yang menggetarkan jiwa. Suara hangat nan nyaman yang biasanya dipakai untuk tokoh kalem dan tidak enakan, mirip seperti Rafa.

"Eh?" Nana urung memasang earpod wireless begitu menyadari namanya yang disebut oleh lelaki itu. Tubuhnya memutar kembali hanya untuk melihat wajah mendekati cantik yang memandangnya malu. "Aku?" Nana menunjuk diri sendiri untuk memastikan.

Dave mengangguk kecil sambil menggigit bibir bawahnya menggemaskan. "Iya. Kak Rena. K-kalau boleh kita ngomong berdua," jawabnya lirih.

Nana ternganga. Untuk apa lelaki cantik ini ingin mengajaknya bicara? Berdua dan dengan pipi yang merona pula. Seolah lelaki itu sangat gugup untuk menghadapinya, membuat Nana berpikir macam-macam dan mungkin merasa agak percaya diri kalau akan ada pernyataan cinta.

"Kak?" panggil Dave menyadarkan Nana dari segala pertanyaan yang terus berputar di kepala.

Nana buru-buru memasang senyum agar tidak terlihat kaget. "Ya? Oh, kenapa nggak ngomong di sini aja?" Benar. Nana harus memastikan dulu dengan menyuruh untuk berbicara di sini saja daripada sudah berbunga-bunga lebih duluan tapi ternyata malah tidak sesuai ekspektasi.

Melihat kanan dan kiri, lelaki itu tampak keberatan. Ia mengulum bibir untuk yang kesekian kali lalu berkata, "Terlalu rame, Kak. Kalo bisa ngobrolnya berdua aja karena ini tentang kita. Tapi, kalo Kakak nggak masalah dengan itu, ya, nggak papa."

Oho? Apa katanya? Tentang kita? Lihatlah semburat merah yang makin jelas terlihat itu. Kepercayaan diri Nana meningkat pesat, melambung tinggi keluar angkasa dan percaya kalau lelaki ini akan menyatakan cinta padanya. Tidak salah lagi, pasti begitu.

Melihat sifatnya pun sepertinya lelaki itu tipe pemalu. Makanya ia tidak ingin menembaknya di tempat ramai begini. Kalau begitu, Nana sebagai orang dewasa harus lebih pengertian dan menuruti keinginan adik kelasnya yang imut.

"Ada apa di antara kalian?" celetuk Marina sembari tersenyum menggoda. "Apa aku ketinggalan sesuatu?"

Dave menggaruk tengkuknya sambil tertawa canggung. "Ada, deh. Ayo, Kak Rena."

"Kamu nggak papa sendirian?" tanya Nana pada Marina. Ia merasa tidak enak meninggalkan tokoh utama itu sendirian setelah bersenggolan dengan Kevin tadi. Entah lelaki macam apalagi yang mungkin akan mengganggunya nanti.

Nana memang memendam rasa iri pada kecantikan dan keberuntungan tokoh utama itu soal pilihan jodoh yang bercabang, tapi setelah mengenal lebih dekat, Nana tidak bisa menyangkal kalau Marina memang layak disayangi.

"Aku bukan anak kecil yang takut ditinggal sendirian. Lagian, bentar lagi kelasnya Elis juga selesai, kok. Tapi nanti kabarin kalo nggak jadi pulang bareng, lho. Semangat!" Marina menaikkan kepalan tangan ke udara dengan wajah cerianya.

Lalu, di sinilah mereka. Berdiri berhadapan di belakang gedung sebuah fakultas, di bawah pohon akasia yang daunnya berguguran tertiup angin. Pas sekali. Suasana ini sangat mendukung momen romantis seperti di film-film.

Joyful For MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang