12. Batasan (2)

2K 264 17
                                    

"Maaf, Kak. Pudding kopinya memang tinggal satu ini. Di outlet lain juga udah sold out." Seorang pegawai wanita menjawab sopan setelah lelaki berkacamata yang tidak Nana ketahui namanya itu bertanya.

"Nggak ada stok lain, Mbak?" tanya lelaki itu lagi, masih berusaha mendapatkan pudding yang ia inginkan. "Saya udah keliling, tapi semuanya habis."

Si pegawai yang berdiri di antara Nana dan si lelaki berkacamata menggeleng pelan. "Nggak ada, Mas. Ganti pudding kopi merek lain aja gimana?"

Gantiin lelaki berkacamata yang menggeleng sambil mengusap wajah kusutnya frustasi. "Kalo bisa udah dari tadi saya beli yang lain. Mbak." Ia menghembuskan napas kasar, mengucek mata yang merah seolah sudah terlalu lelah. "Mau ke mana kamu?"

Otomatis langkah Nana terhenti oleh tarikan kuat di tudung jaketnya, yang hampir saja membuat gadis itu jatuh ke belakang andai tidak ditahan juga oleh si penarik. Ia menahan punggung Nana dengan telapak tangan lalu mendorongnya agar dapat berpijak dengan benar.

"Bayar terus pulang, lah!" Nana yang terkejut dan berakhir kesal mendelik, menoleh ke belakang dengan wajah masam lantas menarik tangan lelaki berkacamata dari tudung jaket, tetapi pegangan tangannya terlalu kuat. "Saya mau pulang!" ulangnya memutar tubuh sambil menatap tajam karena tidak juga dilepaskan. Padahal Nana hanya ingin pergi dengan damai, tapi malah digagalkan secara paksa.

"Kamu mau pergi setelah menipu orang? Bagus sekali," sindir lelaki berkacamata dengan tatapan tajam yang sama. Bedanya, mata lelaki itu dikelilingi lingkaran hitam seolah kurang tidur. "Saya nggak bisa pulang dengan tangan kosong, Nona."

Karena tudung jaketnya belum juga dilepaskan, Nana membalas dengan menarik kerah kemeja lelaki di depannya sambil meloto. "Siapa yang nipu coba? Itu salah Anda yang nggak fokus." Sebenarnya, Nana agak takut untuk melawan karena perbedaan tinggi mereka yang lumayan. Gadis itu sampai harus mendongak hanya agar bisa menatap mata.

Akan tetapi, ia merasa tidak boleh menyerah karena ini adalah kesempatan paling bagus untuk membuat Rafa bahagia.

"Yang kamu lakukan tadi itu apa kalau bukan penipuan?" tanya lelaki itu lagi yang tampaknya enggan untuk menyerah.

Nana berdecak, melepaskan kerah kemeja yang tadi ia tarik, lalu merapikan kerah yang telah kusut itu sebelum melipat lengannya di depan dada dalam keadaan tudung jaket masih dipegangi oleh si lelaki berkacamata.

Rasanya percuma memaksa melepaskan diri karena lelaki berkacamata di hadapannya ini sama berkemauan keras untuk mendapatkan keinginannya. Nana juga bisa melihat keputus-asaan di wajah lelah itu, yang membuat Nana mulai berpikir kalau mungkin saja alasan yang diutarakan si lelaki berkacamata adalah benar.

Namun, Nana tidak boleh percaya begitu saja. Karena bisa jadi itu hanyalah sandiwara untuk memicu rasa kasihan dengan membawa-bawa anak kecil.

Karena itu, Nana tidak akan menyerah dengan begitu mudah. "Penipuan itu kalo ngomong nggak sesuai fakta ya, Mas. Sedangkan saya tadi 'kan, nggak kayak gitu. Yang kalah dia yang dapat. Saya jelas ngomong gitu, lho, dan kamu langsung setuju tanpa memastikan lagi.

Bagaimana pun caranya, Nana tidak akan mau memberikan pudding kopi itu demi sang kakak tersayang. Tidak akan pernah. Kesetiaannya dalam hubungan persaudaraan sangatlah kuat, sekuat baja berlapis.

Setidaknya begitulah yang Nana pikirkan sebelum ia ditawari sejumlah uang. Dimulai dari penawaran sebesar seratus ribu yang tentu saja langsung ditolak, walaupun pudding kopi itu hanya seharga 10 ribu sampai pada akhirnya penawaran sampai pada 300 ribu.

Barulah Nana setuju merelakan makanan kesukaan Rafa yang sebenarnya kurang laku di pasaran hingga jarang ada stok lebih di toko.

"Maaf, ya, Kak. Nanti aku bikinin yang mirip, deh," gumam Nana senang setelah menghitung lembaran uang di tangan. Ia lantas pergi meninggalkan lelaki berkacamata yang akhirnya merasa lega setelah berhasil mendapatkan keinginan sang ponakan.

Joyful For MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang