Jika Jennie harus mendeskripsikan apa itu bahagia, mungkin nama Harvey akan menjadi jawabannya. Selain memiliki cinta yang tulus dan masa depan yang terencana, dia juga memiliki kasih sayang yang tak terwakilkan besarnya. Ketika menyadari hal tersebut, rasanya Jennie sangat bersyukur. Setidaknya apa yang tak bisa didapatkannya dulu, bisa didapatkannya sekarang.
Tapi meskipun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa kesenjangan usia di antara mereka sempat menjadi problematika yang dulunya sangat mengusik ketenangan Jennie. Namun, seiring berkembangnya hubungan mereka, Jennie jadi tersadar akan satu hal. Bukankah cinta yang didapatkannya ini telah dia bayar dengan luka yang sangat besar?
Walaupun terlambat, tapi dia juga berhak untuk bahagia.
Harvey pantas untuk dirinya.
"Nanti turunkan aku didepan sana." ujar Jennie sembari menunjuk ke sebuah butik.
"Kau ingin berbelanja? Mau aku temani?"
Jennie tampak tersenyum tipis, "Aku meminta driver Max untuk menjemputku di sana. Kita tidak mungkin pulang berduaan seperti ini 'kan? Aku masih belum ingin hubungan kita diketahui oleh banyak orang."
"Aku mengerti," jawab Harvey sembari mulai menepikan mobilnya. Kemudian setelah mobil tersebut berhenti, Harvey tampak mengelus kepala Jennie. "Lakukan apapun yang menurutmu baik. Tapi jika aku boleh jujur, aku tidak suka kita seperti ini. Aku merasa seperti seorang pengecut yang hanya bisa membawamu pergi sembunyi-sembunyi."
"Harvey," lirih Jennie sembari meraih tangannya untuk di genggam. "Bisakah kita melakukannya perlahan-lahan? Aku ingin kita dalam keadaan yang sama-sama siap untuk menjelaskan hubungan ini pada Ibuku."
"Jika maksudmu aku harus sukses dulu, apa kau mau menungguku?"
Jennie mengangguk.
"Meskipun lama?"
Jennie terdiam sejenak. "Dua tahun. Aku akan menunggumu selama dua tahun."
Harvey menghela napas berat. "Tapi aku tak bisa berpisah denganmu selama itu! Ayo kita kawin lari saja!"
Ucapannya itu pun sontak membuat Jennie tertawa geli. "Jangan bertindak impulsif, Vey. Bukankah lebih keren menggandeng pasanganmu di altar dengan semarak tepuk tangan orang-orang? Kau tidak boleh merusak pernikahan impianku."
Harvey tampak memasang wajah jengkel. "Baiklah."
"Kenapa baiklahnya seperti itu?"
"Oh iya, ujungnya 'kan harus pakai sayang. Baiklah, Sayang..." ulangnya sambil menunjukkan senyum lebar.
Sebuah tamparan pelan pun melayang diwajahnya. "Cih!" kemudian Jennie hendak bergerak membuka pintu mobil.
"Hey! Tunggu! Apa kau akan pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal?"
Jennie pun berbalik untuk menatapnya lagi. "Apa itu perlu?" tanyanya dengan satu alis terangkat.
"Tentu saja!"
"Kalau begitu, selamatnya harus ditinggal di mana?"
Dengan semangat Harvey menunjuk pipinya sambil tersenyum memejamkan mata. " Di sini. Tiga kali, ya? Empat juga boleh."
"Dasar!"
Meskipun kedengarannya seperti tak ikhlas, tapi akhirnya Jennie mendekat juga ke arah Harvey. Meraih rahangnya dengan lembut, lalu mengecupnya beberapa kali. Kecupan itu terasa penuh kasih sayang sekali. Kemudian setelah dirasa Jennie menjauh, Harvey pun kembali membuka matanya sembari berucap, "Terima kasih, Sayangku."
Tapi Jennie membalasnya dengan memperlihatkan wajah datar. "Itu berbekas."
"Merah?"
"Merah."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐎𝐌𝐌𝐘 𝐉𝐀𝐍𝐄 ✓
Romance"Mommy" -(n) a hot female version of Daddy Di dalam hidupnya, Gracella Jennifer Jane hanya pernah jatuh cinta sekali. Itu pun cinta yang menjadi luka untuknya karena pria itu lebih memilih wanita lain. Memutuskan berpaling dan mengobati rasa sakit...