Sejak dua jam yang lalu, Jennie tampak duduk sendirian di ruang kerjanya. Matanya menerawang kosong. Pikirannya kacau, ibarat lautan yang bergelora tanpa henti. Dadanya juga terasa sesak, seolah-olah ada beban tak terlihat yang menghimpit setiap tarikan napasnya. Biasanya jika dia mengalami hal yang buruk, dia akan menghancurkan barang sebagai pelampiasan. Tapi sekarang, untuk marah pun dia tak punya tenaga. Hanya air mata yang terus mengalir membasahi pipinya.
Di dalam diamnya dia berpikir, apa dirinya seburuk itu hingga untuk bahagia pun takdir tak memberi izin? Apa sedihnya belum cukup hingga dirinya dipaksa untuk mengikhlaskan cintanya lagi?
Kenapa?
Kenapa harus dia?
Tadinya Jennie pulang dengan harapan bisa menemukan ketenangan dirumah. Namun, yang terjadi justru keadaan memberinya pukulan tidak terduga. Foto itu, entah datang dari mana dan entah siapa orang yang telah mengirimkannya. Tapi yang jelas, Jennie pasti akan mencari tahu.
Sebenarnya Jennie sudah menduga bahwa Aeris tidak akan langsung menyetujui hubungannya dengan Harvey. Namun, Jennie tidak pernah berekspektasi kalau Aeris akan semarah dan semurka itu padanya. Terlebih, dia sampai menampar dan mengusir Jennie di saat dia sadar bahwa cuman Jennie satu-satunya anak yang dia miliki.
Jennie yang masih tahu diri, tentu memilih untuk mempertahankan Aeris. Namun di sisi lain, Harvey juga bukan sesuatu yang dapat Jennie lepaskan. Karena baginya, Harvey adalah sebuah kebutuhan. Apabila hal yang dibutuhkannya itu pergi, akan sekacau apa hidup Jennie nanti? Jennie sungguh tak ingin menjalani hidup dengan jiwa yang sudah mati.
"Bi, kemana semua orang? Ini masih jam sembilan malam tapi rumah sepi sekali." ujar Harvey yang baru saja datang. Dia tampak celingak-celinguk memperhatikan sekitar.
"Uhmm..." wanita yang dipanggil Bibi itu terlihat gugup, takut salah bicara. Karena sebelumnya, semua orang yang sudah mendengar pertengkaran Aeris dan Jennie telah diperintahkan untuk tutup mulut.
"Nyonya Aeris sudah pergi dari dua jam yang lalu, Tuan. Aku tidak tahu kemana. Kalau Nyonya Jennie, dia ada di ruang kerjanya. Tapi dia belum makan malam. Sepertinya sedang sibuk."
Harvey mengangguk paham, tidak menaruh curiga sama sekali. "Kalau begitu, tolong siapkan makan malam untuknya, ya? Nanti biar aku yang mengantarkan."
Harvey pun pergi setelah berpesan seperti itu. Dia ingin mandi sebentar. Aktivitasnya di luar cukup banyak hingga membuat tubuhnya terasa tak nyaman.
"Mana makanannya?"
"Ini, Tuan." ucap wanita itu sembari mengulurkan sebuah nampan.
Harvey pun menerima nampan tersebut, lalu dia pergi ke ruang kerja Jennie. Sempat mengetuk pintunya beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya Harvey langsung masuk saja sambil berucap, "Hallo...? Aku datang membawa makanan..."
Tapi tetap tidak ada jawaban.
Karena penasaran, Harvey pun melangkahkan kakinya lagi agar dapat melihat Jennie lebih dekat. Lalu ketika sampai, dia pun melihat wanita itu sedang tertidur pulas, kepalanya bersandar di meja kayu dengan keadaan pipi yang masih memerah akibat tamparan Aeris.
Jennie yang belum lama tertidur sebenarnya sangat sensitif terhadap sentuhan. Kini pipinya terasa diusap dengan lembut seolah-olah sedang meredakan rasa sakit yang sedari tadi berusaha Jennie tahan.
"Ini kenapa, Sayang?"
Biasanya di panggil seperti itu membuat Jennie senang, tapi kenapa sekarang rasanya menyakitkan?
"Hey, are you asleep?" tanya Harvey lagi. Jari telunjuknya tampak terus mengelus pipi Jennie.
Tadinya Jennie tidak ingin bangun dan terus berpura-pura sedang tidur. Tapi setiap kali dia mendengar Harvey bersuara, matanya malah terasa panas seperti siap mengeluarkan air yang deras. Apa dia serapuh itu hingga mendengar pertanyaan sepele dia menangis?

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐎𝐌𝐌𝐘 𝐉𝐀𝐍𝐄 ✓
Romance"Mommy" -(n) a hot female version of Daddy Di dalam hidupnya, Gracella Jennifer Jane hanya pernah jatuh cinta sekali. Itu pun cinta yang menjadi luka untuknya karena pria itu lebih memilih wanita lain. Memutuskan berpaling dan mengobati rasa sakit...