Chapter 3| Without Compassion

4.5K 443 164
                                    

Di saat uang dan kekuasaan sudah ada di tangan, maka dunia bisa di jalankan sesuai dengan keinginan. Jennie itu suka memberi pelajaran. Terlebih ke sejumlah bocah ingusan yang berani melukai Harvey tanpa seizin nya.

"Aku saja tak pernah menyentuh anak itu, tetapi mereka malah membuatnya pulang dengan terluka! Cepat bereskan mereka!"

"Siap, Nyonya!"

"Dan satu lagi, besok aku ingin mereka semua meminta maaf pada Harvey dan pastikan mereka datang dengan kondisi banyak tulang yang patah!"

Lalu di keesokan harinya, mereka sungguhan datang dengan kondisi yang Jennie inginkan. Tak hanya luka memar di wajah, tetapi dari masing-masing mereka ada yang mendapat jatah patah di kaki, patah di tangan, patah di leher dan yang tak terlalu parah, patah di jari.

Demi apapun, Jennie terlihat sangat puas dengan pemandangan pagi itu. Dan hal tersebut juga merupakan bentuk kesombongan nya karena dia jadi bisa menunjukkan pada Harvey bahwa dia bukan orang sembarangan.

"Jika memang kau pernah menduduki peringkat satu, seharusnya kau mengerti bahwa aku masih cukup baik kepadamu."

"Maksudmu, karena kau tak pernah mencederaiku secara fisik?"

Jennie tak menjawabnya, hanya terus diam tanpa mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Tapi kau mencederaiku di sini." lirih Harvey sembari menunjuk dadanya. "Dan kau tak tahu hal itu."

"Bukannya aku tak tahu, tapi aku memilih untuk tidak peduli. Dan akupun sengaja mencederai mu di sana, karena aku tahu sembuhnya luka di hati tak bisa secepat sembuhnya luka di fisik."

"Sekarang hentikan pembahasan ini. Di mana kartu yang diberikan oleh ibuku?"

"Ada di dompet."

"Berikan," pinta Jennie sembari menadahkan tangannya.

"Kenapa? Eh, maksudku... Ini 'kan milik Nenek. Dia mengizinkanku untuk menggunakannya. Akupun tidak membelanjakan ini untuk macam-macam. Murni hanya untuk membayar ongkos pulang pergi dan membeli makanan jika aku lapar. Itu pun hanya untuk makan siang."

"Aku bilang, berikan."

Menjawab dengan nada yang putus asa, Harvey pun berkata. "Ibu, aku sungguhan tak memegang uang."

"Aku paling tak suka mengatakan hal yang sama berulang kali!"

Maka setelah itu, Harvey pun menyerahkan kartunya pada Jennie.

"Ini memang bukan milikku tetapi uangnya berasal dari hasil kerja keras ku. Dan aku berhak mengambilnya darimu meski kau tak rela sekalipun. Kemarin kau masih boleh meminta-minta kepadanya, tapi sekarang tidak lagi."

Kemudian Jennie mengulurkan beberapa lembar uang dollar pada Harvey. "Untuk mengisi dompet kosongmu itu."

"Tapi itu hanya 50 Dollar."

"Itu cukup untuk tiga hari."

"Lalu di hari ke empat?"

"Minta lagi padaku."

Harvey terdiam. Masih belum mau menyentuh uang pemberian Jennie. "Kenapa kau tiba-tiba baik?"

"Kata siapa aku baik? Aku hanya memberimu uang 50 Dollar. Alih-alih bersyukur, seharusnya kau bersedih. Karena apa? Karena aku tidak akan membiayai uang kuliahmu lagi. Selamat mencari 2 juta Dollar untuk setiap semester, Harvey."

°°°

Selama pembelajaran di dalam kelas, Harvey tak bisa fokus mendengarkan materi Dosen. Dia hanya terdiam di bangkunya sembari terus memikirkan ucapan Jennie. Ke mana dia harus mencari uang sebanyak itu? Apa sebaiknya dia berhenti kuliah saja? Tapi dia sudah sampai di semester enam. Bukankah penderitaannya selama mengerjakan tugas harus di bayar dengan mendapat sebuah gelar? Tapi butuh uang yang tak sedikit untuk mendapatkan gelar itu.

𝐌𝐎𝐌𝐌𝐘 𝐉𝐀𝐍𝐄 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang