"Jika ternyata Tuhan tidak mengizinkan kita bersama, apa kau bisa mengikhlaskanku?"
Jujur saja Harvey tak mengerti mengapa pertanyaan menyedihkan itu harus muncul di antara mereka. Tapi melihat bagaimana cara Jennie menatapnya, sepertinya ada hal serius yang berusaha Jennie tutupi. Apa ini soal keinginan Harvey untuk pergi ke Rusia? Tapi Harvey kesana demi masa depan mereka juga. Demi Jennie, demi impian yang ingin mereka raih.
"Ikhlas itu ketika kita harus merelakannya tanpa berharap dia kembali lagi 'kan? Namun, apabila aku bisa seperti itu, bukankah cintaku perlu kau pertanyakan? Andaikan di dunia ini Tuhan hanya menerima satu permintaan, maka permintaanku adalah kau hidup selamanya denganku. Dan apabila aku boleh serakah, aku akan meminta lagi seorang malaikat kecil untuk melengkapi keluarga yang ingin kita bangun. Keluarga impianmu."
Harvey menjawab dengan nada yang lembut. Tatapannya pun teduh dan menenangkan. Sementara Jennie yang dari tadi hanya diam mendengarkannya tampak memandang dengan manik mata berkilau. Dia menyesal. Seharusnya dia tak perlu menanyakan pertanyaan seperti itu pada Harvey. Sebab apa? Sebab, sekarang... melepaskannya semakin terasa sulit.
"Aku sangat tahu bagaimana keseriusanmu kepadaku. Tapi di hidup ini, selalu saja ada hal yang tak bisa kita tebak 'kan? Andaikan nanti kita tak ditakdirkan sejalan, berjanjilah padaku untuk mencari kebahagiaan yang baru."
Dan setelah mendengar ucapan Jennie, barulah raut wajah Harvey berubah. Selain terlihat heran sekaligus tak percaya, tersirat kemarahan juga dari tatapan tajamnya.
"Tidak. Kenapa aku harus berjanji?"
"Harvey-"
"Kau pikir akan ada orang yang bisa menggantikanmu?!"
"Aku-"
"Bahkan jika aku harus memilih ingin hidup dengan wanita lain atau hidup dalam kesepian, maka aku tak akan ragu memilih hidup dalam kesepian! Jadi jangan pernah membahas soal ini lagi denganku, Jane." ucapnya dengan nada penuh penekanan. Rahangnya tegas, gelagatnya juga memperlihatkan bahwa dia sedang berusaha menahan amarahnya agar tak lepas kendali. Demi apapun, dia sangat tidak suka dengan pembahasan mereka ini.
"Maaf."
Harvey tak menggubris, dia hanya terlihat menyiapkan beberapa butir obat, lalu menuangkan segelas air.
"Aku tunggu di mobil." ucapnya sembari beranjak pergi dari sana.
Hm, dia marah. Ketika menyadari hal tersebut, Jennie jadi tak berani untuk menahannya. Setelah Jennie menyusulnya pun, mereka tak banyak bicara. Hal itu pun membuat perjalanan mereka terasa lebih lama dan panjang.
"Turun." dia berucap dengan dingin. Meskipun amarahnya belum reda, tapi dia masih mau membukakan pintu ketika mereka sampai.
Sementara di lantai tiga sana, Aeris tampak berdiri memperhatikan mereka. Walaupun wajahnya terlihat biasa saja tapi sebenarnya dia cukup terusik dengan apa yang sedang dia saksikan. Ya meskipun Harvey besar dalam asuhannya dan dia sangat tahu karakter Harvey itu seperti apa, tapi dia tetap tak bisa mempercayakan Harvey untuk menjaga Jennie. Sebab menurutnya, sebagus apapun dia membentuk karakter seorang anak, anak tetap akan mewarisi sikap dari orang tuanya.
Aeris hanya tak ingin Jennie disakiti lagi. Sudah cukup sekali itu saja.
"Sudah berani terang-terangan sekarang?" tanya nya ketika masuk ke kamar Jennie.
Saat itu, Jennie baru saja berbaring. Kepalanya pusing. Bibirnya pun terlihat lebih pucat. "Apa itu akan menimbulkan perbedaan? Ingin sembunyi-sembunyi pun, Ibu sudah tahu."
"Terserah. Tapi aku harap, kau menepati janjimu. Pulangkan dia dan jangan biarkan dia kembali."
Jennie tampak tertawa hampa. "Jika Ibu memang se-ingin itu melihatku menderita, maka baiklah."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐎𝐌𝐌𝐘 𝐉𝐀𝐍𝐄 ✓
Romance"Mommy" -(n) a hot female version of Daddy Di dalam hidupnya, Gracella Jennifer Jane hanya pernah jatuh cinta sekali. Itu pun cinta yang menjadi luka untuknya karena pria itu lebih memilih wanita lain. Memutuskan berpaling dan mengobati rasa sakit...