Lembar kesembilan

426 95 10
                                    

Hari hariku kuisi dengan persiapan menjadi maba alias mahasiswa baru, membeli peralatan kuliah, sepatu baru, pakaian-pakaian yang pantas kukenakan ka kampus, selain itu aku juga membeli laptop baru, uang kiriman dari ayah.

Sejak menikah terakhir kali aku pulang kerumah adalah saat pengantin baru, setelahnya kedua orang tuaku lah yang rajin menyambangiku dirumah pakdhe.

Diminggu siang ini mas Agam berjanji akan mengantarku untuk membeli laptop karena aku tak banyak mengerti tentang elektronik selain itu aku juga tak tahu dimana tempatnya.

Tetapi pagi tadi saat aku selesai mencuci piring yang dipakai sarapan, tiba-tiba mas Agam memintaku untuk ikut mbak Ratna.

Memang saat sarapan tadi mbak Ratna mengajakku untuk mengikuti kajian bersamanya, untuk hubunganku sendiri dengan mbak Ratna sudah membaik, kami sudah saling meminta maaf, tetapi semakin hari mbak Ratna menjadi lebih mengaturku ini dan itu.

"Dek Uci ikut mbak Ratna aja kajian, kita beli laptopnya nanti sore saja"

Aku tahu mungkin maksud mas Agam dan mbak Ratna baik tetapi entah kenapa aku merasa hatiku ini ragu.

Kuiyakan apa yang diminta mas Agam, kuganti pakaian rumahan ku ke gamis dan jilbab pasmina yang kupakai dengan lilitan seadanya.

Keluar kamar mbak Ratna juga sudah siap, dan terlihat membawa dua tas yang satu tas miliknya dan satunya tas yang berisi perintilan milik sang putri.

"Naik apa mbak kita?"

Saat kulangkahkan kaki mengikuti mbak Ratna keluar rumah, dirinya kali ini menggunakan gamis dengan warna hijau armi dan khimar senada, tak lupa niqob yang selalu digunakannya saat pergi ke kajian-kajian.

Meskipun aku juga menggunakan gamis, tetapi dari kerudung saja kami sudah jauh berbeda, aku merasa jika nanti pasti aku akan aneh sendiri.

"Pakai mobilnya Agam saja, soalnya bawa anak-anak"

Ternyata mbak Ratna sudah membawa kunci mobil milik mas Agam, dan berjalan kearah garasi dengan menggandeng sang putri dan aku dibelakangnya mengikuti bersama Baim.

Mas Aris ada seminar di Surabaya sejak kemarin lusa, sehingga mbak Ratna hari ini harus membawa kedua anaknya, karena di hari minggu memang budhe Arni tidak bertugas menjaga cucu, beliau akan berkegiatan dengan pakdhe entah berolah raga atau sekedar berkeliling kota.

Kajian hari ini memang khusus para wanita, yang lebih spesifiknya fiqih wanita dengan tema pernikahan. Sejak datang aku lebih banyak diam, karena belum mengenal siapapun disana kecuali mbak Ratna.

Mbak Ratna ternyata saat di luar sangat berbeda dengan saat di dalam rumah, dia tipe orang yang ramah,ceria, ramai saat bersama teman-temannya. Dari sini bisa kulihat jika mbak Ratna itu tidaklah introvet, tetapi pandai menempatkan dimana dirinya berada, apalagi dia menjadi seorang pengajar yang mana harus berinteraksi dengan banyak orang.

Baim sudah main bersama anak-anak seumurannya, mungkin karena mereka sering ikut bersama orang tuanya sehingga saling kenal.

Aku sudah tak tau mbak Ratna dimana, akan tetapi saat ini sang putri sedang bersamaku setelah dia pamit akan menyapa sang teman dan memintaku menjaga Kirana.

Hingga hampir lima belas menit acara sudah dibuka, mbak Ratna datang dengan tiga temannya, menggunakan pakaian dengan warna senada meskipun berbeda modelnya, tetapi sama-sama tertutup.

"Dik Uci kenalin teman-teman mbak"

Kusalami dengan menyembutkan namaku bergantian ke ketiga teman mbak Ratna, hingga kudengar apa yang mbak Ratna katakan untuk jawaban dari teman-temannya.

"Sepupunya mas Aris dari Kediri, sekarang tinggal di rumah soalnya kan kuliah disini"

Hingga ada pertanyaan dari salah satu teman mbak Ratna, yang aku tak tahu wajahnya tetapi dari sorot mata, bentuk alis dan lengkukan hidungnya bisa kupastikan dia sangat cantik.

"Dia kah yang dinikahkan dengan mas Agam?"

Aku tak lagi mendengar jawaban mbak Ratna, mungkin dia hanya memberikan jawaban dengan isyarat gerakan.

Kajian sudah dimulai, aku sedikit mencatat yang bagiku harus kucatat, sambil memangku Kirana, karena si bungsu mbak Ratna ini lebih memilih duduk di pangkuanku ketimbang duduk sendiri atau dengan sang ibu.

Beruntungnya Ustad menyampaikan materi dengan sangat santai diselingi dengan candaan dan tanya jawab sehingga satu jam lebih tidak terasa sudah berlalu.

Kirana sudah tertidur pulas di pangkuanku, setelah meminum susu botolnya, sedangkan Baim berada di luar serambi, bermain dengan teman-temannya.

"Dek Uci kita mampir makan dulu ya sama teman-teman mbak"

Kuiyakan ajakan mbak Ratna, hingga salah satu rumah makan dengan nuansa khas jogja adalah pilihan yang kita kunjungi.

Salah satu teman mbak Ratna mengemudi lebih dulu, bersama putra kembarnya dan juga Baim yang ikut di mobil mereka, sedangkan dua teman mbak Ratna lainya berada di mobil lainnya karena keduanya yang tidak membawa putra putri mereka.

Bila aku dan teman-temanku yang masih belia, masih dibangku sekolah belum memiliki pendapatan, hanya mampu naik motor dengan makan di salah satu rumah makan cepat saji, seblak, atau mie level. Sangat berbeda dengan pertemanan mbak Ratna, yang lebih tinggi tingkatannya, lebih tinggi taraf sosialitanya.

Dari pembahasan mereka mulai dari pakaian dengan merk butik tertentu yang membandrol harga sekian, hingga tas branded, bahkan sampai membahas liburan mereka yang dirancang jauh-jauh hari dengan setiap bulannya mereka wajib mengisi tabungan bersama.

Makan disini mungkin dari uang jajanku sebulan cukup satu kali makan, menu-menu yang ditawarkan adalah menu keraton, di tambah dengan fasilitas yang diberikan cukup membuat pengunjung dimanjakan, jadi tak heran jika ini bukan tempat makan dengan katagori biasa untukku.

"Dik Suci kapan mulai masuk kuliahnya?"

Teman mbak Ratna yang tadi menanyakan apakah aku yang di nikahkan dengan mas Agam, membuka percakapan denganku, setelah di tinggal oleh mbak Ratna dan teman satunya yang juga sama-sama membawa putra, untuk mengikuti sang putra ketaman tempat bermain anak-anak.

"Minggu depan kak"

"Udah boyong jogja sejak kapan?"

"Sekitar satu bulan"

"Udah lama ya?"

"Ambil jurusan apa?"

"Teknologi pangan kak"

"Fakultas apa dek, gizi ya?"

"Bukan kak, masuk ke fakultas pertanian kak"

Percakapan basa basi orang yang baru kenal dalam pertemuan pertama, hingga akhirnya pertanyaan inti dari pembukaan tadi.

"Dek Suci yang menikah sama mas Agam?"

Kuanggukan kepala ku, dari penasaran dia siapa aku bisa menghubungkan apakah ini teman mbak Ratna yang di tawarkan untuk menjadi pengantin wanita saat itu.

"Gimana menikah sama saudara sendiri?"

Aku tak bisa menjawabnya, cukup tersenyum adalah pilihanku. Dan tak ada lagi obrolan antara kami karena makanan dan minuman yang kita pesan sudah tiba, dan mbak Ratna serta yang lain juga telah kembali bergabung.

Dan ini untuk pertama kalinya aku merasa kecil, rendah diri. Bagaimana tidak ternyata wanita yang sejak tadi berbicara dengangku sangat jauh cantik diatasku, saat cadarnya dibuka aku yang sama-sama perempuan begitu mengagumi kecantikannya.

Rasa minderku bertambah ketika para teman-temannya membahas tentang pekerjaannya, yaitu sebagai pengusaha dengan dua usaha yaitu butik dan toko perhiasan.

Pakdhe dan budhe menolak berlian demi kerikil sepertiku, yang diberikan untuk sang putra.

Tbc

SUCITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang