Lembar ketujuh belas

503 103 12
                                    

Waktu berjalan begitu cepat, hari ini kami semua pergi ke Surabaya lebih tepatnya kerumah mbak Asti untuk menghadiri acara aqiqah kedua anaknya, karena acaranya memang di buat besar dengan mengundang keluarga besar.

Dan sudah hampir satu bulan hubungan ku dengan mas Agam bukannya lebih hangat tetapi semakin dingin, meskipun tinggal satu kamar tetapi kami tidak saling tegur, bahkan kali ini disetiap malam kami tidak saling berpelukan saat akan tidur.

Berawal saat kedua mertuaku pergi ke Surabaya setelah satu minggu kelahiran anak-anak mbak Asti, dan sekarang sudah satu bulan usia anak-anak mbak Asti, saat itu kami yang sedang makan malam sudah mulai ada cek cok saat berawal bercanda, hingga saat kami berbelanja baju dan tanpa sengaja aku bertemu dengan teman sekelasku Rangga, tak ingin dikira sombong kubalas sapaan Rangga dan mengobrol sebentar, entah kenapa mas Agam marah kepadaku dengan menyeret ku untuk pulang, dan aku yang merasa malu dengan teman-temanku disana, akhirnya mas Agam tak kusapa hingga beberapa hari, sedangkan mas Agam juga demikian mendiamkan aku hingga saat ini, padahal berharap mas Agam yang membujukku .

"Sebentar lagi Suci ini"

Budhe Irna, mama mbak Asti menggodaku, dan di aminkan oleh bunda juga mama mertuaku.

Kami semua sedang berada di ruang keluarga, dengan aku yang sedang memangku anak cewek mbak Asti sedangkan anak cowoknya berada di panggkuan sang mami.

"Udah belum?"

Bisikan mbak Asti membuatku teringat jika aku harus memancing mas Agam, tetapi aku sendiri merasa belum siap. Setidaknya hubungan suami istri ini seperti orang berpacaran yang diawali dengan jatuh cinta.

Mengingat kata cinta kurasa mas Agam belum ada rasa, hanya sebatas tanggung jawab, seperti saat mas Agam yang membelaku ketika mbak Ratna membicarakan keburukanku. Dan ketika mas Agam diminta budhe Arni untuk tak melawan mbak Ratna, mas Agam ingin membelaku sebagai kakak dan suami, bukankah itu sebatas tanggung jawab bukan cinta.

Kugelengkan kepala sebagai jawabanku, mbak Asti menepuk kepalanya sendiri, tanda kecewa akan aku yang tak berhasil menggoda mas Agam sesuai sarannya.

"Nanti mbak kasih baju, ada mbak masih baru masih kemasan rapi"

Kembali mbak Asti berkata lirih di sampingku, kemudian terdiam karena beberapa saudara lain sedang mendekat.

"Masyallah lucu banget kembar cewek cowok, ganteng kayak bapaknya cantik kayak ibunya"

Suara lembut yang penuh dengan pujian itu terdengar sangat indah, akupun dahulu sangat memuji kesholehan wanita ini yang penuh dengan kesabaran, tetapi itu hanya di depan saja ternyata di belakang sangat menyakiti.

Berbeda denganku yang tak ingin bermuka dua, aku lebih suka menunjukan apa adanya diriku.

Mbak Ratna dengan kedua anaknya mendekat, meminta bayi dalam gendonganku untuk di pangkunya, dan begitulah di hadapan semua keluarga besar seolah dia tak pernah membenciku atau ada masalah denganku, berbeda denganku yang seolah sudah malas berinteraksi jika sudah disakiti.

Aku mundur dari kerumunan keluarga yang sedang berebut menggendong si kembar, pergi menemui bunda yang sedang membantu kedua kakaknya menyiapkan hidangan di meja.

"Bun, nanti Uci ikut pulang Kediri ya"

"Memanya kuliah libur?"

"Besok kan hari sabtu, cuma satu mata kuliah, terus minggu juga libur, hari senin tanggal merah juga"

"Tapi ayah enggak bisa antar ke Jogja, hari minggu sampai senin ada gatering kantor"

"Naik bus Uci berani kok, atau kereta, nanti sampai jogja bisa naik ojek, atau bisa di jemput mas Agam dan pakdhe"

SUCITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang