Lembar ketiga

670 99 5
                                    

Akhirnya aku kembali pulang ke kotaku, kerumah orang tua ku dengan status yang berbeda dari saat berangkat.

Ayah dan Bunda sudah pulang terlebih dahulu, karena tadi aku masih mampir untuk membelikan oleh-oleh sahabatku, mereka semua titip untuk di belikan oleh-oleh saat aku pamit ada acara keluarga di Jogja.

Karena Ayah yang harus sudah masuk kantor hari ini, jadi mobil yang dikendarai Ayah lebih dahulu pulang, sedangkan aku harus ikut dengan mas Agam, hanya berdua yang bagiku sangat aneh interaksi kami setelah pernikahan.

Canggung tentunya, karena kami dahulu adalah sepupu dan sekarang suami isteri, apalagi dahulu aku pernah bertengkar dengan mas Agam meskipun saat itu aku yang salah dan kekanakan tetapi mas Agam terpancing emosi sehingga aku dan Doni di lempar bantal sofa.

Meskipun sudah berlalu, aku dan Doni masih mengingatnya sehingga kami berdua sering membicarakan mas Agam dibelakang orangnya.

"Mas Agam kok disini?"

Kagetku saat masuk kamar mas Agam ada di dalam kamarku, bermain ponsel diatas tempat tidurku.

"Enggak boleh?"

"Kan biasanya kalau nginap disini mas Agam di kamar Kevin"

Tak menyahut apa yang kuproteskan, sebenarnya aku tahu jika kami sudah suami istri dan diperbolehkan untuk satu kamar bahkan di haruskan, akan tetapi aku harus membereskan kamarku.

Tempo hari saat berangkat ke Jogja aku terburu-buru sehingga belum sempat membereskan kamar milikku, tetapi saat ini kurasa kamar telah di bereskan bunda, terlihat dari sprei yang sudah di ganti, tetapi tidak dengan pernak-pernik di meja belajarku.

Dan benar saja saat aku beranjak cepat menuju meja belajar, foto-foto itu masih tersusun rapi di atas meja belajar mulai fotoku bersama sahabat-sahabatku, foto keluarga, bahkan fotoku dengan teman priaku, yaitu kekasihku yang mana saat ujian kemarin aku yang ingin break sementara untuk fokus ujian, dan kami berjanji saat kami sudah mendapatkan tempat kuliah kami akan kembali, tetapi takdir berkata lain.

"Itu pacarmu?"

Mas Agam sepertinya sudah melihatnya sebelum aku masuk kedalam kamar, karena bunda tadi meminta tolong untuk aku mencuci buah yang beliau beli dan sekalian mengupasnya.

"Bisa dibilang begitu"

"Kenapa enggak bilang kemarin?"

"Bilang apa? Memangnya bisa?"

"Pak lik dan bulek tahu kamu punya pacar?"

"Tahulah, tapi disuruh putus saat mau ujian nasional"

"Sudah mantan sekarang?"

"Belum"

"Maksudnya?"

"Kita cuma break sementara saat ujian sekolah sampai kita dapat kampus"

"Terus rencana balikan?"

"Iya, tapi rencana Tuhan beda"

Mas Agam tersenyum mengejekku, dengan bangkit dari ranjang kemudian mendekat ketempatku, dan mengambil pigura yang terpampang wajahku dan kekasihku.

"Gen Z"

Katanya kemudian meletakkan kembali pigura diatas meja dan berlalu keluar daru kamar.

"Gen Pithecanthropus Erectus"

Kami selisih dua belas tahun, jarak yang lumayan jauh itu seakan membuat generasi kita jauh berbeda, bertambah dengan karakter mas Agam yang berbeda denganku, seolah kita itu langit dan bumi.

Siapa yang akan menyangka akan di nikahkan dengan mas Agam, sungguh ironis sekalai kisahku, tak bisa merasakan tahap pernikahan seperti layaknya wanita lainnya. Harusnya aku kemarin datang untuk menjadi tamu di pernikahan bukan malah menjadi pengantinnya.

[ Fotomu enggak ada yang senyum, muram banget , mas Agam juga ]

Saat kubuka ponselku pesan dari Doni yang mengirimkan foto pesta pernikahan kemarin, membuatku meneliti satu persatu ekspresi wajah dari semuanya.

Tak ada senyuman di semuanya, hanya pakde yang terlihat santai tanpa beban, berbeda dengan budhe Arni dan kedua orangtua ku, apalagi kedua mempelai yang tak ada aura kebahagiaan sama sekali.

Aku berpindah keatas tempat tidur, masih menscrol foto-foto yang dikirim Doni, seperti dia sudah memindahkan hasil jepretannya dari kamera milinya ke ponsel, karena banyak foto-foto yang dikirimnya.

[Anjirrr, pengantinnya haus]

Caption yang di tuliskan Doni, dengan terkirimnya fotoku yang duduk di kursi dekat prasmanan dengan membawa segelas es yang kutempelkan di bibir.

Kemarin dari ratusan undangan, sama sekali tak ada yang kukenal, selain keluargaku sendiri, karena terlalu lelah, tak ada yang peka akan kelelahanku, membuatku nekat turun dari pelamina, dan segera menghampiri tempat minuman.

Pikirku kemarin, bodo amat akan komentat orang-orang, siapa suruh memaksaku untuk menikahi sepupuku, dengan alasan demi nama baik keluarga.

Memang pertimbangan keluarga kemarin adalah saudara dari pakde hanya satu, dan beliau juga sama laki-laki bahkan anak-anak dari saudara pakde sudah menikah semua, bagaimana pun jika ada perempuan itu tak bisa dinikahkan dengan mas Agam.

Jika ditarik dari garis keturunan hanya dari keluarga budhe yaitu mama mas Agam lah yang bisa di nikagkan dengannya, dan akulah satu-satunya wanita yang bisa dinikahkan dengan mas Agam.

Apes juga mas Agam dinikahkan denganku karena tak ada pilihan lagi, tetapi semalam saat aku keluar kamar untuk mencari tas milikku, tak sengaja sempat aku mendengar jika sebenarnya mbak Ratna kakak ipar mas Agam sempat menawarkan teman sekolahnya, yang mana beliau sama-sama sholehah nya seperti mbak Ratna, tetapi di tolak oleh Pakde, dan akulah pilihan beliau.

[Ini beneran apa akting Ci]

Foto tangisku saat selesai akad nikah dan aku harus sungkem kepada para orang tua, saat itu pikiranku hanya rasa ketidak yakinan, seolah-olah itu tak nyata, dan aku tidak mempercayai akan keputusanku menerima pernikahan.

[Don, jangan sampai kamu kirimkan ke group keluarga, aku bakalan enggak nyapa kamu selamanya]

Pesan yang kukirimkan ke Doni kalah cepat dengan budhe Irna yang lebih dulu membagikan foto-foto kemarin ke group keluarga besar.

[Bukan aku yang ngirim]

Balasnya yang membuatku semakin ingin menangis, apalagi dengan membaca komentar-komentar para orang tua yang seakan-akan mereka bahagia akan pernikahan ini.

Aku tertidur hingga sore hari, setelah membaca komentar-komentar di group whatsaap keluarga, dan ternyata group itu semakin ramai saat sore hari kini bukan lagi orang tua tetapi semua kalangan, bahkan mas Agam pun ikut berkomentar, dengan ucapan terimakasih kepada semuanya.

Sebelum bunda memanggilku, aku lebih dulu membawa handuk untuk keluar kamar menuju kamar mandi, karena memang kamar mandi dalam hanya ada di kamar utama, itu kamar milik ayah bunda.

Kunikmati setiap guyuran air, kugosok setiap inci kulitku, kusampo rambutku, hingga merasa bersih kuakhiri kegiatan mandiku, kebiasaan setiap hari yang keluar kamar mandi hanya memakai handuk karena saat sore hari pastinya Kevin yang masih ada les, dan Ayah yang sepulang kantor akan istirahat di kamar beliau, tetapi aku melupakan jika saat ini ada mas Agam dirumahku.

"Astagfirullah Uci"

Bundalah yang melihatku keluar kamar mandi karena beliau sedang memasak untuk makan malam, dan beliau mengodeku jika ada mas Agam di sofa ruang televisi depan kamarku.

Dengan cengengesan karena malu sendiri, saat tanpa sengaja aku dan mas Agam saling menatap, di detik itupula aku berlari untuk masuk kamar, dan kesialan kembali kudapatkan saat kakiku tersandung pintu, dengan menahan rasa sakit aku terus menerobos kedalam kamar dan menutup pintu kamar dengan nyaring.

Brakkk

Tbc

SUCITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang