Lembar pertama

698 70 2
                                    

Akhirnya keputusan ku menikahi kakak sepupuku sendiri, setelah bunda dan kedua kakaknya berhambur memelukku untuk membujuku setelah beberapa menit aku terdiam dan hampir satu jam aku hanya diam membisu, karena bagiku ini terlalu tidak masuk diakalku.

Satu jam aku mandi setelah acara mencekam diruang keluarga, entah aku melamunkan apa saat air mengguyur tubuhku, akan tetapi pikiranku berkelana entah kemana.

"Don, kalau aku nikah sama sepupu nanti anakku cacat enggak?"

"Kamu udah mikiran buat ehem-ehem sama mas Agam?"

Doni yang sebenarnya aku harus memanggilnya mas itu, tetapi lebih memilih memanggil nama setelah dia protes karena dia tak mau dianggap tua.

"Ngawur aja"

Aku yang kini sedang dirias di kamar mas Agam dengan ditemani mbak Asti dan Doni, terlebihnya mereka ada untuk menghiburku yang menurut mereka aku seperti orang linglung setelah keluar dari kamar mandi.

"Insyallah enggak kok Ci, menurut dunia medis.."

"Udah cukup Don, males aku dengerin kamu presentasi"

Mbak Asti yang setiap hari mendapatkan nasihat kesehatan, bahkan larangan-larang dari Doni saat hamil menyela apa yang akan di jelaskan Doni.

Memang kehadiran kakak beradik itu lebih membuatku sedikit merasa tenang, terlebih Doni yang mana disetiap kumpul keluarga dia adalah sosok yang paling dekat dan tempatku berkeluh kesah, bahkan dalam aku menentukan fakultas yang akan kupilih dia lah yang memberikan banyak pilihan dan pertimbangan, membandingkan hal lebih dan kurangnya.

"Udah deh Ci, enggak rugi kok jadi istrinya Agam, banyak duit dia, mana sholeh juga"

Seketika aku tersadar bagaimana mas Agam yang taat beribadah, suka mengikuti mejelis taklim, bahkan dia dahulu sering menasehatiku untuk memakai kerudung, karena aku belum berkerudung, dan itu tentunya yang aku tak suka, sehingga sebelum-sebelumnya saat ada acara keluarga aku lebih suka bersama Doni karena dia lebih sefrekuensi denganku.

"Astaga Mbak Asti, Suci baru sadar"

Teriakku seketika, tentunya mengagetkan MUA yang sedang meriasku, juga kakak beradik yang sedang diatas ranjang memperhatikanku yang duduk di depan cermin.

"Maaf mbak"

Ucapku kikuk, memohon maaf kepada MUA yang kurasa beliau terkejut juga emosi akan tindakanku yang berteriak dan spontan berdiri.

"Kenapa Ci?"

"Sadar apa Ci?"

Bersamaan Doni dan mbak Asti yang sama-sama penasaran akan yang kuucapkan.

"Aku pasti bakal di rukiyah tiap hari sama mas Agam"

"Haaaahahahahah"

Tawa kedua sepupuku berbarengan begitu nyaring akan jawaban yang kuberikan, dengan kutunjukan rambut serta celana pendek yang kukenakan, tentunya semua mengerti akan gerakan yang kumaksudkan.

"Apa mau batal aja, mumpung belum akan nih?"

Goda Doni yang membuatku menambah rasa keraguan akan keputusan yang kuambil.

"Boleh enggak ya sama para orang tua, aku takut nih tapi kasihan juga sama budhe shock kayak gitu"

"Mumpung ada waktu satu jam lagi loh ini, sebelum penghulunya datang kembali"

Memang tadi pagi penghulunya sudah datang tapi karena drama tadi pagi itu, akhirnya beliau pamit untuk pergi ketempat pengantin lainnya karena jadwal beliau yang padat.

Dan pakde yang sudah terlanjur menyebar undangan untuk acara pesta nanti malam, serta tak ingin budhe semakin sedih, sehingga pernikahan ini beliau minta tetap berlanjut dengan mengganti pengantin wanitanya.

Inilah yang terjadi sekarang, akulah pengantin penggantinya karena permintaan pakdhe dan pilihan budhe sendiri yang menunjukku untuk menjadi menantu penggantinya.

Untuk mas Agam dia tak menunjukan batang hidungnya di hadapanku, entah kemana dia pergi, bahkan dia tak mengatakan sepatah katapun saat tadi semua orang sibuk membujukku.

Keraguanku semakin meningkat saat pertimbangan yang baru tersadar dalam ingatanku, aku dan mas Agam sangat berbeda jauh, dari segi usia, kehidupan sehari-hari, dan yang paling mencolok kita tidak sejalan dalam visi misi kehidupan, kami sering berdebat maka dari itu kita tak dekat, meskipun sama-sama sepupu seperti Doni.

"Dek Asti, minta tolong ya Dek Suci di bantu makan"

Tiba-tiba mbak Ratna kakak ipar dari mas Agam yaitu istri dari mas Aris masuk ke kemar dengan membawa sepiring nasi beserta lauknya.

"Udah makan dia mbak"

Rasanya aku ingin menertawakan diriku sendiri dan mbak Asti, yang mana saat tadi pagi semua orang sedang panik, bersedih, kita berdua bisa dengan santainya melipir ke dapur untuk makan terlebih dahulu, apalagi dengan diriku yang baru terbangun.

"Kapan? Belum lihat aku tadi saat semua sarapan"

"Ehemm"

Kuberikan kode deheman kepada mbak Asti, aku merasa malu jika sampai mbak Asti keceplosan. Dan cerdasnya mbak Asti bisa menangkap akan kodeku, dan meminta makanan yang dibawakan mbak Ratna.

"Sini mbak piringnya"

Setelah kepergian mbak Ratna, menantu pertama budhe Arni yang dewasa, sholehah, lemah lembut ciri khas orang Jogja asli, berbeda jauh dariku tentunya. Membuatku semakin ragu karena memang aku jauh berbeda dengan mereka.

Untuk urusan riasan wajah telah selesai, dan MUA nya memintaku untuk menunggu sebentar, tim dari mereka yang sedang memperbaiki baju untuk akad, karena badanku yang lebih kecil di banding calon pengantin yang kabur, membuat para tim harus bekerja lebih lagi.

"Mbak Suci sebentar dulu ya, bajunya sebentar lagi selesai , apa mau di pakaikan jilbabnya terlebih dahulu?"

Aku mengangguk, dengan pikiran kembali berkelana dengan isi yang berbagai macam rupa, tentang apa yang akan terjadi setelah pernikahan ini, bagaimana dengan diriku sesungguhnya yang pastinya akan berubah seratus selapan puluh derajat.

"Bengong lagi"

Tepukan mbak Asti di sampingku, yang entah sejak kapan dia berdiri di sampingku memperbaiki rambutnya yang berantakan setelah rebahan di ranjang dengan ikut bercermin.

"Mbak kayaknya aku jadi takut, enggak siap rasanya aku nikah sekarang apalagi sama mas Agam"

"Cii ini para orang tua udah senang lo, jangan bikin heboh lagi kamu"

"Iya sih mbak tapi aku ragu"

Pembicaraanku dengan mbak Asti di sela oleh Doni yang ikut bangkit dari ranjang.

"Mending gagal saat akan menikah mbak, daripada gagal setelah nikah, lebih kasihan Suci"

Lagi-lagi hanya Doni yang bisa mengertiku, selain kami sefrekuensi, kami juga sangat saling mengerti meskipun kami tidak seumuran.

"Masalahnya sekarang semuanya sudah di ubah menjadi calon pengantinya itu Suci, kalau saja tadi pagi Suci udah nolak ya akan beda cerita sama nolak sekarang ini"

Panjang lebar mbak Asti menjelaskan, memang benar saat ini akulah pengantin wanitanya, mulai baju pengantin yang sudah di rombak ke ukuran badanku, juga dekorasi nama pengantin diganti dengan namaku, bahkan saat laporan ke pihak KUA jika pernikahan dilanjutkan, saat itu juga mas Aris selaku kakak sulung mas Agam, melaporkan perubahan nama pengantin serta adminitrasi, beruntungnya aku memiliki file seperti kartu tanda penduduk, akta kelahiran, Kartu keluarga dalam PDF yang kusimpan dalam ponselku saat beberapa bulan lalu kugunakan untuk mendaftar di universitas.

Beginikah kisahku, yang menjadi pengantin pengganti, tidak melalui proses pernikahan seperti yang kuimpikan selama ini.


Tbc

SUCITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang