Lembar kedelapan belas

563 105 10
                                    

Mas Agam sudah tak marah, atau lebih tepatnya menahan amarahnya, karena batalnya liburan ke Bromo dan akhirnya mas Agam malam itu ikut ke Kediri tak ingin para orang tua tahu jika kami sebenarnya sudah tak saling sapa beberapa minggu, tetapi berakhir mengobrol saat dirumah orangtua ku, saat hanya tinggal kami berdua.

Selain mas Agam, Doni juga ikut ke Kediri lebih tepatnya hari sabtu malam Doni ingin ikut denganku bertemu dengan para sahabatku.

"Dek Uci besok kuliah masuk jam berapa?"

"Pagi ada kelas sampai jam sepuluh lanjut mata kuliah kedua sampai jam dua belas lebih lima belas menit, terus ada kelas lagi setelah dhuhur jam dua siang"

Saat ini aku sedang berada di kamar, kami sudah kembali ke Jogja menjalani rutinitas kami masing-masing.

"Besok jam satu ke kantor mas, dek Uci belum pernah ikut organisasi istri pegawai kan?"

"Enggak ah, Uci malu"

"Malu kenapa?"

"Ya malu ketemu orang-orang"

"Malu orang-orang tau dek Uci punya sumi mas?"

"Bukan gitu, Uci kecil sendiri malu, terus disana suruh ngapain?"

"Ya kurang lebih kayak bunda kalau lagi kegiatan di kantor ayah, dek Uci tahu kan gambarannya"

"Kasih Uci waktu satu tahun, nanti kalau Uci siap pasti datang"

"Enggak enak sama istrinya pak kepala dek"

"Bilangin aja Uci kuliah"

"Ibu-ibu pingin kenal dek Uci, sudah empat bulan mereka menunggu dek Uci gabung"

"Uci pikir-pikir dulu"

Lebih tepatnya aku ingin memikirkan alasan untuk besok agar tak jadi datang ke kantor mas Agam dalam acara rutin bulanan ibu darma wanita.

Dari group whatsaap saja aku sudah tahu kehidupan para ibu-ibu itu, aku hanya bingung mau mengobrol apa dengam mereka, yang notabenya beliau-beliau seumuran bundaku .

"Besok jangan bikin alasan enggak datang, besok mas jemput"

Malam ini kuakhiri dengan terkalahkan oleh statment mas Agam, menutup mata dengan tak tenang, memikirkan esok hari.

           ****

Hari ini aku berangkat kuliah dengan bersama papa mertua, ya saat ini aku dan mas Agam diminta kedua orang tua kami wajib mengganti panggilan kepada mereka, agar terbiasa katanya. Tak lupa kubawa seragam darma wanita yang sudah kujahit sejak beberapa bulan yang lalu sesaat setelah aku resmi menjadi istri dari mas Agam.

Sesampai di kampus terlihat seperti orang hendak pindahan, dengan tas kerja tenteng hitam yang di dalamnya kuisi dengan baju seragam, dan tas ransel yang berisi perlengkapan kuliah serta laptopku, tak lupa juga totebag yang berisi sepatu pantofel untuk melengkapi penampilanku nanti.

"Minggat kamu Ci?"

"Iya di usir sama budheku, gegara mecahin piring satu rak"

Kujawab dengan bercandaan saat Tantri menegurku yang baru duduk di bangku sampingnya.

Setelah tragedi di Mall lalu, hingga aku hangat menjadi perbincangan mereka lebih tepatnya mas Agam dengan di sebut-sebut kakak Suci yang galak, sehingga aku saat ini lebih menjaga jarak dengan lawan jenis, dan kurasa teman-teman laki-laki di kelas juga menjaga jarak dariku, karena aku yang sudah tak meladeni chat tak penting dari mereka, sehingga mereka berhenti menghubungiku.

Tetapi masih meninggalkan komunikasi yang masih intens dari salah satu cowok di kelas lain, lebih tepatnya kakak tingkat dari satu fakultas denganku.

Hanya sebatas komunikasi tentang tugas, karena dia asisten dosen dan aku penanggung jawab mata kuliah mahasiswanya, tetapi aku merasa takut jika komunikasi ini ketahuan juga oleh mas Agam, sehingga aku selalu menghapus percakapan dari pria ini.

SUCITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang