Selesai acara dan tinggalah keluarga inti dan beberapa saudara dari pakdhe yang juga tinggal tak jauh dari rumah ini, dan sejak pagi juga sudah membantu, bergotong royong membereskan sisa acara.
Untuk mbak Ratna tak keluar kamar, tadi sempat keluar untuk membuat susu Kirana, sedangkan Baim sendiri kini juga di ajak masuk kedalam kamar padahal sebelumnya tadi saat masih acara berlangsung dia ikut dengan sang Abi dan mas Agam mengikuti acara pengajian.
Aku menyapu lantai bekas karpet yang menyisakan debu, sedangkan mas Agam dan mas Aris selesai melipat karper mereka membuang bekas botol air mineral dan plastik-plastik kue.
"Enggak usah di pel Uci, biar besok sibudhe aja"
Suara pakdhe yang sedang duduk beristirahat di sofa yang baru saja di tata rapi kembali sesuai tempatnya oleh mas Agam dan mas Aris.
"Iya pakdhe"
Kucuci tanganku dan mengambil segelas es buah yang menjadi teman makan para tamu tadi, kemudian duduk di kursi meja makan, tempatku makan sebulan lalu sebelum permintaan orang tua kepadaku untuk menggantikan pengantin wanita yang kabur.
"Agam, ajak Uci makan nak dari siang belum makan dia"
Aku mendengar suara budhe Arni yang meminta sang putra mengajakku makan, entah kenapa aku bisa tak bernafsu makan setelah menerima kemarahan mbak Ratna.
"Dimana ma Uci?"
"Tadi kebelakang cuci tangan, masih di dapur mungkin"
Setelah itu suara langkah kaki terdengar mendekat, kemudian kursi disebelahku ditarik untuk di duduki, siapa lagi jika bukan mas Agam.
"Makan ya, nanti sakit"
Hanya beberapa kata mas Agam membujukku untuk makan, selebihnya dia kembali berdiri mengambil piring dan mengisinya dengan nasi serta beragam lauk.
"Kebanyakan mas"
Saat sepiring makanan penuh tersaji di hadapanku, membuatku tak habis pikir dengan mas Agam yang bisa bisanya memberiku makan porsi jumbo.
"Berdua"
"Ohh"
Mas Agam ternyata menyukai makan bersama dengan cara satu piring bersama, memang dengan cara seperti ini kita bisa merasakan makan lebih lezat, sehingga dapat menaikan nafsu makan.
"Memang manja ya, makan saja minta diambilin"
Ditengah-tengah makan mas Agam bersuara, karena aku tak mengeluarkan suara hanya fokus pada makanan.
"Enggak kok"
Bela ku kepada mas Agam, agar tak dikira olehnya aku yang ingin bermanja.
"Kenapa enggak makan?"
"Enggak nafsu"
"Sakit?"
"Iya, sakit hati Uci"
"Halah enggak usah di masukin hati, namanya juga hidup berdampingan dengan manusia"
Aku merasa mas Agam sudah mengetahui kejadian siang tadi, entah siapa yang memberitahu nya tetapi respon mas Agam begitu santai.
"Tapi Uci sebagai manusia punya hati"
"Buktinya apa?"
"Ya ini buktinya Uci bisa sakit hati"
Mas Agam mengernyitkan keningnya, membuatku sebal sendiri dengan responnya.
"Udah enggak usah di bahas"
Kesalku kemudian kembali meminum es buah ku untuk membantu memasukan makanan di tenggorokanku yang terasa tersangkut.