Lembar kedua puluh

696 112 18
                                    

Minggu pagi ini kuisi dengan mencuci baju, mencuci sepatu, membantu mama di dapur, segala pekerjaan rumah kulakukan, bahkan aku juga mandi pagi di kamar mandi dapur karena dikamar ada mas Agam yang berada di meja kerja, guna menghindari mas Agam, begitu malu rasanya saat aku yang mengawali mengecup bibir mas Agam dan meminta untuk dibalasnya tetapi sang empu hanya diam membatu saat aku sedikit melumatnya, tetap tanpa ada balasan itulah yang kurasakan.

Sambil melamun menunggui mesin pengering baju berputar, aku bersandar pada dinding memikirkan harus bagaimana nanti saat kami hanya berdua, apakah aku harus bersikap acuh, tetapi aku merasa tidak bisa, naluri perempuan yang penuh gengsi membuatku sibuk dengan pikiran sendiri, hingga tiba-tiba tanpa aku sadari mas Agam berdiri di luar pintu dapur yang berjalan kearah taman belakang rumah.

"Nduk Uci, mama sama papa mau ke Klaten takziah"

Suara mama mertua terdengar dari arah ruang keluarga, aku yang baru masuk kedalam rumah sehabis menjemur baju, dan kulihat beliau sudah beganti pakaian, sedangkan papa mertuaku sedang memanaskan mobil juga sudah berganti mengenakan pakaian untuk takziah.

"Mas Agam nanti kalau mau sarapan, kamu larutin sambal kacangnya, sayuranya udah mama rebus, itu masih mama tiriskan"

"Iya Ma"

Lebih baik kusiapkan sekarang, rasanya masih malu untuk bertemu mas Agam, apalagi hanya berdua dirumah, seolah aku wanita murahan yang semalam dengan beraninya memulai menciumnya bahkan tanpa balasan.

Kedua mertuaku telah berangkat, terlihat terburu-buru, mereka sedang melayat salah satu kerabat jauh dari papa, dan akan di makam kan pagi jadi tak ingin ketinggalan, karena mengejar waktu pemakaman maka keduanya menjadi terburu-buru.

Diatas meja sudah kusiapkan piring dan sendok, sayuran rebus, sambal kacang, tahu bacem, tempe goreng tepung, kerupuk dan telur dadar sudah terhidang di atas meja makan.

Berganti menuju taman samping, ternyata halaman semua sudah bersih bahkan lantai rumah juga sudah tercium wangi, jadi tak ada lagi pekerjaan yang bisa kukerjakan.

Kali ini kurebahkan badanku di atas sofa, menyalakan televisi adalah solusi untuk menghindari mas Agam yang kulihat kembali kedalam kamar saat aku menyiapkan makanan.

Acara anak-anak di akhir pekan adalah tontonan yang kupilih, film kartun robot kucing dengan sejuta alat di kantongnya terpampang di layar televisi.

Terdengan suara knop pintu di putar dari kamar mas Agam, dan keluarlah sang empu yang sudah terlihat segar sehabis mandi.

Aku yang spontan mendongak saat mas Agam keluar kamar membuat mata kami bertemu, saling menatap dan segera kuputuskan pandangan, beralih menatap layar televisi.

"Udah makan dek?"

"Nanti, duluan aja mas"

Ting, ting,ting

Suara dentingan antara sendok dan piring, sepertiny mas Agam hendak makan pagi, semuanya sudah kusiapkan, dan aku tak ada niat untuk menemaninya, lebih baik aku pergi mandi mumpung mas Agam tidak ada di dalam kamar.

Tetapi saat aku hendak bangkit dari sofa, mas Agam duduk di sofa yang sebelumnya kubuat untuk meletakkan kepalaku.

"Ayo sarapan dulu"

"Uci nanti aja"

"Makan dulu, habis ini kita keluar"

"Kemana?"

"Jalan-jalan lah"

"Jalan kemana?"

Mas Agam pandai mengalihkan perhatianku, dengan mengajakku mengobrol, menyuapkan makanan sendok demi sendok kemulutku, juga menyuapkan makanan untuk dirinya sendiri.

SUCITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang