Lembar keenam belas

583 109 9
                                        

Tiba dirumah budhe sudah hampir tengah malam, karena kami yang sering berhenti untuk sholat, makan atau istirahat karena mas Agam merasakan kantuk.

Aku sendiri sepanjang jalan banyak tidur, karena setelah tindakan mas Agam tadi aku tak bisa memberikan perintah pada otakku untuk bekerja.

"Dek, dek uci bangun, udah sampai rumah"

Usapan di lengan disertai bisikan mas Agam membuatku membuka mata, dan benar saja kita telah berada di dalam garasi rumah.

Mas Agam turun terlebih dahulu saat aku sudah terbangun, dan mengeluarkan barang-barang kami untuk di bawa masuk kedalam rumah, pakdhe sudah berdiri di teras samping rumah, mungkin beliau terbangun atau bahkan belum tidur karena menunggu kami.

"Assalamualaikum"

Kucium tangan papa mertuaku itu, kemudian masuk kedalam rumah dan langsung menuju kamar.

Mas Agam masih di luar kamar saat aku keluar dari kamar mandi, karena tadi aku yang langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan badan dan berganti pakaian.

"Dek baju-baju kotornya mas masukin mesin cuci baju, di cuci besok aja"

Mas Agam masuk kedalam kamar dengan menenteng tas milikku dan miliknya serta memberitahuku akan tugas yang harus ku kerjakan besok pagi.

"Iya mas"

Dan malam ini adalah malam kedua kami tidur dengan saling berpelukan, karena setelah mas Agam membersihkan badan dan berganti pakaian ikut menyusulku naik keatas kasur dan menarikku dalam pelukannya.

                   *****

Sudah berlalu dua minggu setelah kami liburan, dalam group keluarga Doni memberikan pengumuman akan kelahiran putra dan putri dari mbak Asti, ya mbak Asti melahirkan bayi kembar dengan jenis kelamin cowok cewek.

Tetapi karena padatnya jadwal kuliahku serta mas Agam yang ada jadwal ada kunjungan kantor dari Jakarta membuat kami tak ikut saat budhe dan pakdhe menjenguk mbak Asti di Surabaya.

Untuk keluarga mas Aris juga tak ikut, karena juga tak bisa meninggalkan pekerjaan, tetapi kali ini mbak Ratna menginap dirumah orang tuanya karena tak ada yang menjaga putra putrinya dirumah, selain budhe yang ke Surabaya juga asisten rumah tangga kami cuti sakit.

Hanya berdua dengan mas Agam membuatku harus berbagi tugas rumah dengannya, mulai menyapu, mengepel, dan membersihkan halaman.

"Dek makan di luar saja"

Saat aku menyiram tanaman-tanaman budhe dan menyapu halaman di sore hari dan mas Agam sudah selesai dari tugas menyapu dan mengepel rumah, karena pagi tadi kami tak sempat melakukannya.

Untuk makan memang kami sejak kemarin sore selalu membeli di warung, dan pagi tadi aku membuat mie instan untuk sarapan kami berdua, siang tentunya kami makan di kantin masing-masing.

"Makan di Mall ya mas, Uci mau beli celana"

"Siap"

Teriaknya menjawab teriakanku saat aku mengusulkan tempat makan kami, dan mas Agam yang telah berjalan memasuki rumah sedangkan aku masih berada di halaman.

Mas Agam tak protes akan penampilanku ke kampus karena dianggapnya sopan dan tertutup meskipun aku belum berhijab, seperti yang dia minta. Tetapi malam ini mas Agam protes dan mengancam tak jadi pergi makan jika aku tak ganti pakaian. Perkara atasan yang kukenakan terlalu ketat baginya, karena kupadukan dengan rok pendek selutut.

"Dek Uci ganti baju atau kita enggak jadi makan"

"Uci pakai ini nanti biar mudah kalau nyoba celana, biar enggak usah lepas pasang celana"

"Ganti"

Tegasnya yang akhirnya membuatku menurut, takut juga rasanya tak ada pakdhe budhe dirumah saat menghadapi mas Agam yang marah, apalagi marahnya mas Agam yang tak mau diajak bicara, bisa-bisa aku bicara dengan burung periharaan pakdhe sebagai temanku dirumah.

Kuganti dengan celana panjang santai dengan kaos panjang yang sedikit longgar, dan tak ada lagi komentar dari mas Agam.

Memang setelah pulang dari liburan mas Agam kini lebih banyak bicara denganku, lebih terbuka dalam segala hal, dan lebih santai meskipun kadang kala membuatku menjadi tegang akan perlakuannya.

Dua minggu ini kami masih sebatas berpelukan saat akan tidur, dan kadang kala terbangun sudah dalam posisi berbeda-beda. Masih dalam sebatas itu, dan kecupan di pipi saat di telaga warna itu adalah kecupan terakhir karena mas Agam sendiri kurasa menjaga detak jantungnya, pasalnya disetiap malam kami berpelukan rasa grogi itu masih saja ada.

Tiba di bangunan tinggi yang ramai berisi orang-orang menghabiskan uangnya, mas Agam lebih dulu mengajak untuk makan.

Berkeliling mencari tempat kosong, akhirnya kami mendapatkan meja kosong yang pas untuk kami berdua.

"Kamu yang antri gih dek, pakai kartu dari Mas"

Kulakukan perintah mas Agam, memesan makanan untuk kami berdua, mengeluarkan kartu yang sudah lama berada di dompetku tetapi tak pernah kugunakan, teringat saat mas Agam memberikannya saat itu.

Saat awal pernikahan, malam sepulang dari Kediri mas Agam mengulurkan kartu debit yang di berikan nomer pin dengan diawali angka nol dan diikiti angka ganjil.

"Pakai kartu ini untuk keperluan dek Uci, atur sendiri agar cukup"

Dan saat kuperiksa esoknya di mesin ATM ternyata sebesar dua kali lipat uang jajan dari orang tuaku.

"Kak nanti di antar ya, ini nomer mejanya"

Seruan pramusaji menyadarkan ku dari lamunan saat mas Agam memberikan kartu debit sebagai media nafkah darinya.

"Nanti di antar"

Kuletakan nomer meja dari bahan akrilik di atas meja, dan kududukan bokongku pada kursi berhadapan dengan mas Agam.

Tak sengaja melihat wajah mas Agam membuatku tergelitik gemas, karena tanganku ingin sekali memencetnya.

"Mas kamu jerawatan nih"

Satu jerawat yang tumbuh di dagu begitu besar, dan ini sangat jarang karena mas Agam sangat menjaga kebersihan dan kesehatan kulitnya, ternyata tetap bisa berjerawat wajahnya.

"Iya jerawat cinta"

Jawabnya dengan terkekeh yang juga menular untukku tersenyum menanggapi jawaban mas Agam.

"Cinta siapa?"

Kucoba bernyanyi sepenggal bait lagu dangdut yang sering kudengar di kantin kampus.

"Cinta bojoku dewe"

Kali ini aku terbahak, mendengar Mas Agam juga bernyanyi sepenggal bait, tenyata pria seperti mas Agam juga tahu lagu dangdut yang sedang tren, dan meksipun diganti liriknya.

"Emang cinta sama bojomu mas?"

Tak dijawab oleh mas Agam melainkan, ditinggal bermain ponsel, membuatku kecewa, padahal berharap hubungan kita bisa ada kemajuan, setidaknya merayuku, bukan aku yang harus mengejar agar peka bukan.

"Ih enggak di jawab"

Aku yang tidak sedang pura-pura ngambek, tetapi beneran marah dengan respon mas Agam.

"Memangnya dek Uci mau di cintai?"

Kenapa mesti ditanya dulu, harusnya nyatakan entah perkataan atau perbuatan, masa nikah berbulan-bulan masih sekedar berpelukan, bahkan aku sudah rela memakai daster lengan yukengsi, memakai baju tidur pendek demi memancing mas Agam sesuai saran mbak Asti.

"Orang chatingan sama teman cowok lain tiap hari"

Lanjut mas Agam yang membuatku terkejut, dan memang benar aku chating dengan teman cowok tetapi hanya sebatas teman.


SUCITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang