Lembar keduapuluh satu

881 106 21
                                    

Cup

Kecupan di bibir yang di lakukan mas Agam membuatku marah, pasalnya semalam seolah tak ingin aku melakukan itu tetapi kini dengan begitu santainya melakukan itu kepadaku.

"Mas"

Kudorong kepala mas Agam agar menjauh, tentu saja mas Agam terkejut atas yang kulakukan.

"Semalam mati-matian Uci beranikan diri, mengesampingkan rasa gengsi Uci, menahan malu, tapi mas Agam menolak Uci, dan sekarang mas Agam bertindak sesuka hati, mau mas Agam itu apa?"

Ketika mas Agam masih menguasai diri, dan emosiku tak lagi bisa kutahan, segala isi hati kulontarkan begitu saja, seketika membuat mas Agam memaksaku untuk menghadap kearahnya.

"Maafin mas, semalam mas kaget aja serasa enggak percaya dek Uci lakukan itu"

"Harusnya balas Uci dong, malu mas seharian Uci berusaha menghindari mas Agam buat nahan rasa malu"

Entah kenapa aku bisa menangis saat mengingatnya, seakan harga diri sebagai wanita telah hilang.

"Memangnya maksud dek Uci semalam apa?"

Aku gelagapan, bingung dengan maksud sebenarnya dari diriku sendiri.

"Ya ya..ya Uci mau minta maaf"

"Minta maaf saja? Udah mas maafin"

"Ya udah"

Merasa tak perlu ada yang kubahas, akhirnya kuakhiri perdebatan. Sesungguhnya merasa kalah akan mas Agam saja.

"Dek Uci lihat mas"

Mas Agam berusaha memutar tubuhku untuk menghadap kearahnya tetapi aku ingin mempertahankan posisiku yang menghadap kearah pemanggang, dengan tangan sibuk membolak balik makanan diatasnya.

Klek

Suara kompor dimatikan oleh mas Agam karena makanan telihat mengepulkan asap pertanda gosong, kemudian menarikku paksa berhadapan denganya.

"Mas tanya baik-baik, dek Uci mau jalani rumah tangga sama mas sampai selamanya apa enggak?"

"Tau ah"

"Adek, yang bener jawabnya kalau di tanya"

"La terus mas Agam memangnya berharap jawaban apa dari Uci?"

Kembali aku bertanya, seharusnya pertanyaan itu tak perlu di tanyakan padaku, aku cukup dewasa saat beberpaa bulan lalu menerima permintaan orang tuanya, dan pastinya tahu konsekuensi yang harus kuhadapi.

"Mas ingin dek Uci jujur, sebelum kita jauh melangkah"

"Langkah kita sudah jauh mas, Uci bisa berpikir dengan cukup bagaimana kebaikan dan keburukan kedepannya saat dulu budhe dan pakdhe minta Uci jadi pengantin pengganti yang kabur itu"

Hembusan nafas berat mas Agam terdengar, dan tatapan matanya masih fokus menjurus menatapku, begitu pun dengan mataku yang juga tak mau kalah menatapnya, hingga akhirnya tatapan itu berubah sendu, dan mas Agam kembali bersuara saat kami sama-sama tediam hanya saling menatap.

"Mas itu posesif kalau sama milik mas"

Ucap mas Agam lirih dengan memutuskan pandangan, kemudian menatapku kembali kini tangannya berpindah kepundakku.

"Mas mau kalau dek Uci siap melangkah kedepan bareng mas, tolong bisa ngertiin mas yang posesif ini"

Dari ucapan mas Agam aku mengerti jika dia tak ingin aku membuat kesalahan seperti kemarin.

"Terus kenapa mas Agam enggak mau sentuh Uci, sekarang Uci istri mas Agam, haruskah Uci yang meminta?"

Memang seolah harga diri seorang istri di ombang ambing di part nafkah batin, seperti tak di harapkan saat suami tak ingin menyentuhnya, meskipun sang istri juga belum siap tetapi rasa tak diinginkan itu akan hadir saat suami tak meminta haknya kepada sang istri.

"Sekarang mas tanya, dek Uci cinta sama mas? Dek Uci sudah siap dengan segala konsekuensi setelahnya?"

Aku terdiam memikirkan jawaban yang akan kuberikan kepada mas Agam.

"Haruskan cinta ada?"

"Iya harus"

"Oke, memang sekarang belum tapi nanti pasti ada dalam perjalanan hidup kita"

Hening lama dalam pemikiran masing-masing, kembali kunyalakan kompor pemanggang dan kembali memanggang makanan yang belum sempat kupanggang, begitu pun dengan mas Agam yang membuka mie dalam cup dan mengisi air dalam panci kecil yang sebelumnya telah dibuat untuk mendidihkan air.

Dalam kediaman kami berdua, tetapi tetap saling perhatian dengan berbagi makanan, meskipun tanpa bicara kami mengerti maksud akan perlakuannya.

Sempat pergi kemushola yang di sediakan tak jauh dari tempat camo secara bergantian.

Lebih dulu aku yang pergi dari tenda untuk ke mushola, tak betah berlama berdua tanpa bicara dalam ruang yang sempit. Hingga berganti mas Agam saat aku kembali.

Mas Agam telah pergi kemushola dan aku lebih memilih untuk merebahkan badan didalam tenda, sayup-sayup suara orang diluar tenda mengantarkan rasa kantuk untuk masuk kedalam dunia mimpi.

Hingga entah sudah berapa lama aku tertidur, dan ketika membuka mata pertama kali kulihat mas Agam yang telah menatapku, berada di sampingku.

Kucari ponselku untuk melihat sudah pukul berapa saat ini, dan ternyata hampir satu jam aku terpejam.

"Ayo kita mulai dari awal"

Mas Agam memulai pembicaraan sesaat aku baru tersadar dari tertidur, dan reflek aku mengerutkan kening, tak mengerti maksud perkataannya.

"Ayo kita mulai dari pendekatan, dan buat saling jatuh cinta"

Ternyata mas Agam masih ingin melanjutkan obrolan kami yang terpending beberapa jam.

"Pendekatan yang bagaimana?"

"Mungkin dari setiap saat memberi kabar saat tak berdua, makan sepiring berdua setiap makan berdua, dan paling penting tidak boleh berhubungan dekat dengan lawan jenis yang menjurus membuat kita cemburu"

"Kan udah kita lakuin mas makan sepiring berdua, saling berkabar"

Protesku pada mas Agam, yang detik berikunya aku juga kalah telak.

"Iya termasuk dekat dengan cowok buat mas cemburu"

"Memangnya mas Agam cemburu kemarin?"

"Bisa di bilang kurang lebih begitu"

"Cemburu tanda cinta enggak sih"

"Mas hanya melindungi milik nya mas"

Inikah sikap posesif mas Agam, tapi aku merasa tersanjung akan sikap nya yang posesif kepadaku, terasa menghangat dan tanpa terasa aku tersenyum.

Lagi-lagi hanya keheningan di dalam tenda, berbanding terbalik dengan di luar tenda yang mulai terdengar suara musik dari tenda lain.

Tangan mas Agam naik mengusap pelan pipiku, menatap masuk meneliti mata begitu pun denganku yang juga menatap matanya, seolah dengan saling menatap bisa saling berbicara.

Dan dengan sadar kami saling mendekat setelah beberapa saat hanya saling diam, mengecupkan bibir ke bibir, hingga berubah menjadi lumatan.

Ciuman pertama yang saling menginginkan bukan hanya kecupan sepihak, saling bertukar saliva dengan penuh gairah.

Terlalu lama saling mencecap membuatku yang terasa tak bisa bernafas menepuk dada mas Agam untuk dia melepaskan tautan kami.

Mengambil oksigen banyak-banyak seakan terengah-engah, dan kembali mas Agam menarik tengkukku sebelum aku kembali bangkit.

Hanya ciuman yang panas, tanpa ada adegan lainnya dan itu ternyata terasa candu bagiku.

Mengakhiri ciuman setelah merasa puas dan lelah, bahkan baju kami berdua terasa basah akan keringat, tenda yang ditutup dan kegiatan panas di salamnya seolah membakar kalori.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SUCITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang