[ciehhh ]
[Dimana ini Suci?]
[Asyikkkk oww owww]
[Salam ya Suci buat kakak mu]
[Mas Agam kok enggak ajak aku sih]
[Bagus banget alamnya]
[Cantik banget ciptaan Tuhan, alam beserta manusianya ini]
Beberapa komentar yang masuk di sosial mediaku, mulai dari saudara sepupu yang menggodaku, juga dari sahabat SMA ku dan teman-teman kampus.
Untuk teman sekolah maupuk kuliah tak ada yang tahu jika aku adalah istri mas Agam, foto-foto yang ku unggah hingga lebih dari satu slide itu telah menampilkan sosok mas Agam yang berselfi berdua denganku dan hanya satu frame, tetapi banyak yang fokus ke foto itu, karena ini pertama kalinya aku memposting foto bersamanya.
"Siapa dek Rangga12_putra ini"
Saat ini kami sedang berada di salah satu tempat makan, setelah dari Sikunir, dan mas Agam yang sedang duduk bersantai disampingku menoleh.
Ya ternyata mas Agam juga melihat foto yang kuunggah sebelum aku mandi tadi karena bergantian menunggu barang bawaan, mas Agam lebih dulu mandi. Dan sekarang aku telah kembali, duduk di sampingnya membuka akun sosial mediaku, sambil menunggu makanan kami tiba.
"Oh itu teman Uci mas"
"Teman?"
"Teman kuliah, satu kelas"
Tak ada lagi pertanyaan, tetapi pemberitahuan di akun muncul satu komentar baru, dari akun yang bernama Agam_Wicaksono.
[❤️]
Komentar yang hanya sebuah tanda love, tentunya membuat orang yang membacanya tak dapat mengartikan apa maksud sebenarnya.
Hanya satu foto yang bersama mas Agam, lainnya hanya foto pemandangan dan lebih banyak adalah foto selfiku. Dan hanya keluarga yang tahu siapa mas Agam, seperti mbak Asti dan Doni yang menuliskan komentar bermaksud menggodaku.
Membaca akan godaan dari dua sepupuku itu membuatku teringat saat tadi kamu berfoto berdua, mas Agam yang memegang ponselnya dan aku di sampingnya terlihat tangan mas Agam yang merangkul pundakku, dan dengan tanpa kusadari tangaku berusaha memeluknya, bermaksud bertumpu pada mas Agam karena kakinya yang kujinjitkan agar tak terlihat pendek di samping mas Agam.
Dan setelahnya di foto kedua mas Agam tangan berpindah di kepalaku, yang lebih membuatku kaget sesaat berfoto aku yang sedang melihat hasil foto kami, usapan pelan di kepalaku disertai kecupan pelan di puncak kepalaku, lagi-lagi membuatku terkejut, kali ini aku seakan tersengat listrik dan tak mampu menggerakkan anggota tubuhku.
Makanan telah tiba, menikmati makanan kami masing-masing dalam diam, karena merasa begitu lapar.
"Mas ke telaga warna nya jauh enggak?"
"Lumayan"
Kali ini kami sudah kembali kedalam mobil, membeli bekal minum dan makanan untuk kami nikmati di dalam mobil.
"Dek Uci mau belajar nyetir?"
"Emang boleh? tapi enggak di bolehin sih sama ayah, padahal dari kelas dua sma Uci minta"
"Kalau mau, mas ajarin pas mas pulang kerja atau weekend"
"Serius?"
"Iya, tapi enggak usah bilang paklik"
"Asyikkk"
"Dek Uci dua bulan kemarin minta transferan sama paklik bulik ya?"
"Enggak minta kok, tapi bunda selalu transfer sendiri sih"
"Ohh, dua bulan kemarin yang kartu dari mas enggak di pakai?"
Memang kartu debit dari mas Agam hanya kupakai di bulan pertama kami setelah menikah, dan saat itu kupakai untuk belanja keperluan peringatan satu bulan pernikahan, saat di minta mas Agam membayar apa yang di pesan budhe menggunakan uang dari, selain itu aku juga memakainya untuk membeli keperluanku saat aku lupa membawa uang cash dan isi kartu debit ku hanya tersisa lima puluh ribu, karena terlalu banyak kugunakan belanja online.
Sedangkan kartu ku sendiri setiap bulan mendapat transferan dari orang tuaku sebagai jajan, dan keperluan kuliah dan itu cukup untukku yang notabennya makan sehari-hari dirumah, untuk bensin motor selalu di isi penuh oleh mas Agam, jadi sangat jarang aku menggunakannya.
"Belilah keperluan dek Uci pakai uang di kartu itu"
"Iya"
Sepanjang perjalanan kami terisi dengan perbincangan perkara uang di kartu ATM, ku iyakan permintaan mas Agam, takut jika besok bukan kartu ATM yang di berikan tetapi mesin ATM nya.
Sampai di tempat tujuan terakhir, rasa dingin masih terasa meskipun hari sudah siang, tetapi tak sedingi subuh tadi. Setelah memarkirkan mobil, mas Agam memintaku untuk mengantri membeli tiket masuk, karena mas Agam hendak pergi untuk sholat dhuhur di awal waktu.
Saat aku selesai mengantri, mas Agam juga selesai dari mushola, memasuki wilayah telaga yang semakin dingin, membuatku bersin-bersin, padahal pagi tadi aku tak sampai bersin.
"Kenapa? Flu?"
"Enggak"
Melihat bagusnya pemandangan membuat semangatku untuk ingin mengambil gambar menjadi heboh, meminta mas Agam untuk menfotoku di berbagai tempat, sudah berkali-kali membuat mas Agam terlihat sudah mulai bosan karena kuminta untuk mengulang foto saat kurasa fotoku kurang bagus.
Foto disini kami tak berselfi tetapi meminta bantuan orang lain untuk menfotokan kami, takut terjadi pagi tadi yang membuatku salah tingkah, kali ini aku berfoto sedikit berjarak dengan gaya yang biasa saja tanpa membuat sentuhan.
Duduk di sebuah batu besar memandang pada telaga jauh di depan, sambil kulihat hasil bidikan gambar mas Agam, dan tiba-tiba mas Agam memeluku dari belakang yang sebelumnya dia berdiri disampingku, juga ikut fokus pada ponselku, karena aku yang mengomentari hasil karya fotonya.
"Tahu enggak mitosnya telaga warna ini?"
"Eng...gakk"
Kali ini aku harus tetap tenang mengontrol detak jantungku, meskipun aku juga merasakan detak jantung mas Agam berdetak lebih cepat dariku.
"Dulu itu tempat mandi nya ratu, putri kerjaaan, terus suatu saat putri kerajaan yang manja ini ulang tahun, sama sang ratu di kasih kado kalung permata, tapi dia menolak dengan kasar, jadinya sang ratu sedih"
"Terus?"
"Ya begitu, terus dek Uci kalau di kasih orang itu diterima jangan di tolak, biar yang kasih enggak sedih"
"Hemm"
Kami saling diam, aku tak juga melanjutkan melihat ponselku, lebih memilih kumasukan kedalam tas, dan menikmati momen ini, karena ini pertama kalinya dengan sadar mas Agam memelukku dan di luar kamar, mungkin ini juga bisa jadi awal pendekatan kami sebagai suami istri bukan lagi kakak adik sepupu.
"Dingin banget"
Suara mas Agam jelas terdengar di telingaku karena kini kepalanya di letakkan di atas bahuku, dengan tangan yang tetap melingkar di pinggang hingga perutku.
Aku tak menjawab, lebih ke bingung harus merespon bagaimana karena ini juga pertama kalinya aku di peluk oleh laki-laki dewasa selain ayah, dengan pacarku dahulu kami hanya sebatas bergandengan tangan saat di tempat ramai agar tak terpisah.
Cup
Dan lagi-lagi aku membeku, seolah tersengat listrik dan tak mampu bergerak untuk meberikan respon, bahkan otakku tak dapat kuperintahkan untuk berpikir, karena tiba-tiba mas Agam mengecup pipiku, bukan lagi puncak kepalaku.
Bingung haruskah aku membalas mengecup pipinya atau harus bangkit untuk menghindar.
