Lembar kedua belas

472 103 18
                                    

Masa-masa awal menjadi mahasiswa terasa sangat menyenangkan, memakai pakaian bebas bukan lagi seragam dari sekolah, bisa memakai sepatu apapun tidak harus hitam seperti saat jadi anak sekolah, dan jika tak ada kelas pagi bisa berangkat tanpa harus terburu-buru.

Sudah hampir satu bulan aku jalani terasa nyaman, dan hampir tiga bulan aku tinggal dirumah kakak bundaku sebagai menantu.

Hari sabtu aku ada kelas siang, karena permintaan dosen dan hanya satu mata kuliah, terasa malas berangkat karena sayang uang bensin dan sayang bedak yang harus kuoleskan di wajahku.

Aku memang sengaja bermalasan, bangun siang karena sedang tidak sholat, dan mas Agam libur kekantor jadi aku tak harus menyiapkan keperluan mas Agam, meskipun laki-laki yang bergelas suamiku itu bisa menyiapkan sendiri, tetapi mbak Ratna pernah menegurku karena mas Agam yang pagi-pagi menyetrika bajunya sendiri karena seragamnya baru dicuci kemarin sore, sedangkan aku saat itu lebih memilih menonton kartun di televisi bersama Baim, padahal mas Agam sedang terburu-buru.

Setelah menggeliat, kubuka mataku hingga indra penciumanku menangkap aroma dari wanginya cairan pembersih lantai, dan benar saja mas Agam telah mengepel lantai kamar.

"Awas, masih basah licin lantainya"

Peringat mas Agam saat aku hendak turun dari ranjang, dan akhirnya aku hanya duduk di atas ranjang menunggu sebentar hingga lantai sedikit kering, agar tak menjadi kotor akibat bekas kakiku.

Tak berapa lama mas Agam sudah selesai dan membawa alat pel san embernya keluar, aku pun turun dari ranjang saat lantai kurasa sudah mengering.

Kutuntaskan hajatku di kamar mandi, dan setelahnya, keluar kamar mengganti baju bersih, karena waktu sudah bukan lagi subuh, tetapi sudah pagi dengan matahari yang sudah merayap naik.

Kubawa keranjang baju kotor yang berisi tak banyak karena dalam seminggu aku bisa mencuci baju dua sampai tiga kali, tak mau terulang tragedi baju seragam mas Agam baru kucuci saat hendak di kenakan keesokan harinya.

"Terbiasa dimanja soalnya budhe, nanti kalau aku tegur dia, pasti dibelain sama papa sama mama, belum lagi nanti aku juga kena marah mas Aris"

Suara mbak Ratna yang ternyata sedang membicarakan aku dengan wanita yang dirumah ini sebagai asisten rumah tangga dan dipanggil dengan sebutan budhe, untuk budhe Arni sendiri dirumah di panggil mama atau eyang Uti oleh penghuni rumah.

"Masak sih mbak Ratna dimarahin mas Aris?"

"Iya, sepupu kesayangan Uci itu, dikeluarga besar dia itu kepala geng nya sama si Doni"

"Yang mas dokter itu mbak?"

"Bener, mereke berdua itu juga kurang ngerti agama juga tata kerama budhe, sepupuan bersaudara tetapi tidak bisa menjaga batasan, padahal mereka itu sama seperti ke mas Aris atau Agam, jadi bisa saja Uci itu menikah dengan Doni, tapi ya gitu berduaan gak ada batasan"

Degg

Terkejut rasanya ternyata dua orang ini sedang membicarakan aku, lebih tepatnya membicarakan keburukanku, aku masih tetap diam berdiri di balik dinding pembatas antara ruang makan dan dapur, karena kedua orang itu telah berada di dapur, sedangkan budhe Arni kurasa pergi ke pasar dengan pakdhe.

"Tapi mbak Uci itu rajin sebenarnya, hanya saja perlu di arahkan"

"Kalau namanya sudah menikah ya enggak perlu di kasih tahu kan budhe, harusnya sudah tahu kewajibannya apa. Ini suami sudah bantu beres-beres rumah dianya malah masih tidur, mentang-mentang mertuanya budhenya sendiri"

Tak lagi terdengar suara budhe, karena kini beliau yang hendak mengambil sesuatu di dalam kulkas melihatku yang berdiri tak jauh dari tempat lemari pendingin, tentunya beliau terkejut.

Tetapi mbak Ratna sepertinya belum puas untuk membicarakan keburukanku, suaranya kembali terdengar, kali ini membahas hal kewajiban istri.

"Selama tiga bulan ini, budhe pernah lihat Uci pagi-pagi keramas? Kurasa dia belum kasih hak Agam"

Ingin sekali aku berteriak di hadapan mbak Ratna dengan memakinya, seorang pendidikan tinggi rajin mengikuti kajian, bicara di depan orang lemah lembut, pakaian tertutup sempurna tetapi mulutnya begitu lancar membicarakan orang lain dibelakang, sungguh tidak mencerminkan pribadi muslimah sesungguhnya.

Tak kuhiraukan tatapan budhe yang terlihat cemas karena tertangkap basah oleh orang yang sedang di gunjingkan.

Keluar dari tempat persembunyian, melangkah kearah tempat mencuci pakaian, tentunya melewati dimana mbak Ratna berdiri mencuci botol-botol susu sang putri.

Dan yang membuatku lebih terkejut lagi ternyata ada mas Agam yang tengah duduk santai melamun di luar dapur, lebih tepatnya teras belakang di samping tempat jemuran pakaian, tentunya jika mas Agam sejak tadi berada disana, mendengarkan apa yang mbak Ratna katakan.

"Mas Agam disini?"

Sengaja suara kukeraskan agar kedua orang yang berada di dalam dapur mendengar, jika ada mas Agam disini sejak tadi.

"Iya istirahat, habis ngepel soalnya istrinya mas masih tidur kecapekan kan kasihan"

Ucapnya santai dengan suara yang dibuat lantang mengimbangi suaraku, membuatku tersenyum seolah mendapat dukungan dari mas Agam.

"Masuk kuliah jam berapa?"

"Jam sepuluh mas"

"Sampai jam berapa?"

"Jam satu selesai"

"Nanti mas antar terus pulangnya kita langsung liburan"

"Kemana mas?"

Kali ini aku benar- benar penasaran, karena mas Agam tak membahas akan mengajakku liburan hari ini, malah kemarin bilangnya dia ingin bermain badminton bersama teman kantornya.

"Dieng, kita menginap disana biar kamu kalau keramas pagi enggak ada yang tahu"

Aku tertawa puas mendengar penuturan mas Agam, bisa-bisanya mas Agam mengolah kata yang menyangkut percakapan mbak Ratna sebelumnya di dapur, jadi bisa kupastikan mas Agam mendengar semuanya.

Setelah selesai ku masukan baju-baju kotor milik ku dan mas Agam kedalam mesin cuci, menuangkan deterjen, mengatur waktu, mengatur isi air, dan kecepatan. Kutinggalkan mesin cuci itu bekerja sendiri.

Suara budhe Arni terdengar sudah tiba, benar dugaan ku jika kedua mertuaku sedang ke pasar, dan mengajak Baim yang menenteng kue-kue tradisional untuk cemilan orang serumah.

Terlihat mas Agam sudah berada di samping rumah, karena ada jalan yang menghubungkan antara taman belakang rumah dengan taman di samping rumah, jadi tadi setelah mas Agam selesai mengepel dia menuju ke teras belakang melewati jalan samping sehingga dua orang yang sedang membicarakan aku tak mengetahui jika mas Agam berada di sana.

"Mas beneran jadi kita ke dieng?"

Aku yang penasaran ucapan mas Agam menghampirinya yang terlihat sedang membersihkan mobilnya.

"Iya"

Jawabnya singkat, dan di dengar oleh pakdhe yang sedang berjalan masuk kedalam rumah setelah memarkirkan motornya di dalam garasi, membuat beliau ikut berkomentar.

"Dingin disana, turun es malah enggak bisa lihat pemandangan nanti kalian"

"Memang yang di cari dinginnya kok Pa"

"Ngapain cari dingin, kena flu yang ada mending tidur selimutan kalau papa"

"Lah sama, Agam juga maunya gitu tapi disana, biar kalau dek Uci keramas pagi enggak ada yang lihat"

Sepertinya mas Agam tersinggung akan perkataan mbak Ratna, atau mungkin sebelum aku datang ada cerita yang lebih menyakitkan tetapi sudah di dengar mas Agam.

Dan ucapan mas Agam itu pas diwaktu mbak Ratna yang keluar menghampiri Baim yang duduk melantai memakan kue lapis kukus yang dibawanya dari pasar.

Pakdhe terbahak-bahak, seolah ucapan mas Agam adalah bercadaan semata, tetapi itu mampu membuatku malu hingga wajah dan telingaku terasa panas.


SUCITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang