Lembar kelima

589 70 3
                                    

Semalam setelah pulang dari simpang lima, mas Agam yang kularang tidur di kamarku menurut saja, dia lebih untuk merebahkan tubuhnya di atas sofa depan televisi ruang tengah, dengan alibi menonton televisi.

Mas Agam tentunya merasa lebih santai dirumahku, tak merasa seperti rumah mertua, karena memang sebelumnya mas Agam adalah keponakan bunda sehingga rumah ini tidak terasa asing baginya.

Ceklek

"Kok masuk?"

"Disuruh pak lik"

Pertanyaanku di jawab apa adanya oleh mas Agam, pastinya ayah yang menyuruh mas Agam masuk kamar.

"Enggak usah lebay ya dek Uci"

Kalimatnya yang memprotesku saat aku hendak melarangnya naik keatas tempat tidur, yang akhirnya aku mengalah, kali kedua kami tidur satu ranjang, padahal dahulu saat kami masih hanya sebatas sepupu dan saat kami sudah masuk keusia dewasa, saat berkumpul mas Agam tak pernah mau untuk satu tempat tidur dengan kami para sepupu wanita.

Tetapi kini dia bisa dengan santainya tanpa sungkan naik kepembaringaku dan masuk kedalam selimut, tak lupa menarik guling yang sebelumnya kupeluk untuk berganti di peluknya.

Dan pagi ini kali keduanya di hari ketigaku menyandang status seorang istri yang di bangunkan untuk sholat subuh oleh mas Agam.

Kujalani pagiku dirumah seperti biasanya hanya pembedanya kali ini penghuni rumah bertambah satu manusia.

Sarapan yang biasanya hanya bersama bunda selama aku sudah tak lagi harus kesekolah, kini menjadi bertiga dengan mas Agam, yang ternyata jatah cuti menikahnya ada satu minggu.

Sungguh kasihan cuti menikah yang harusnya dibuat berbulan madu, memadu kasih dengan sang istri kini ternyata menikahnya denganku sepupunya sendiri, yang tak lain yang masih usia belia.

"Bun aku hari ini ada janji sama geng"

"Naik apa?"

"Motor"

"Mas Agam ikut?"

"Enggak lah"

"Pamit dulu sama mas Agam kalau gitu"

Aku yang telah selesai mencuci piring dan peralatan masak bunda, yang merupakan rutinitasku selama menjadi pengangguran selain menyapu dan menyiram tanaman tentunya, telah kuselesaikan.

Sesuai perintah bunda, setelah aku berganti baju dan sedikit berdandan serta menyiapkan oleh-oleh sesuai pesanan para sahabatku, kuhampiri mas Agam yang membaca buku di teras samping rumah.

"Mas pamit ya, aku mau ketemuan sama teman-temanku"

"Bukannya janjian habis dhuhur kalian?"

Lupa jika aku mas Agam kemarin menyimak apa yang kubicarakan dengan sahabatku saat kami bertemu di simpang lima, tentunya untuk janjian yang sekarang ini aku tak memberitahu bunda apalagi mas Agam, dengan siapakah aku bertemu.

"Iya biar enggak telat"

Bohongku sambil meletakkan tas yang berisi oleh-oleh di dalam jok motorku.

"Jangan bohong, dosa dek Uci"

"Beneran, siapa juga yang bohong"

"Sekarang mas ini suaminya dek Uci ya, bukan kakak sepupu lagi"

"Tauuu, enggak usah di inge-ingetin"

Mas Agam yang mendengar jawabanku sedikit keras, menghembuskan nafas kasarnya, kemudian jari telunjuknya diletakkan di keningku dan didorongnya pelan.

"Ketemuan kan sama cowok di pigura kamar itu"

Ucapnya sambil tersenyum mengejekku, tentunya membuatku terkejut, bagaimana mas Agam bisa tahu jika aku membuat janji temu dengan cowok yang di maksud mas Agam.

"Ya udah sana hati-hati"

Ucapnya kembali dengan santai, dengan tangan yang di buat seolah mengusirku.

"Enggak salim nih mas, kan katanya situ suami"

"Enggak usah, mana aja istri pamit sama suami buat ketemuan sama pacar"

Geli sendiri rasanya mendengar pernyataan mas Agam, membuatku terbahak dan mas Agam ikut tertawa lirih.

Hari ini sebelum aku bertemu dengan sahabatku sebelum kami sama-sama berpisah, aku juga bertemu dengan laki-laki yang dulu bisa kusebut sebagai kekasihku, pacarku, teman priaku, hanya saja saat kami ujian kemarin terpaksa kami harus break karena kesibukan kami masing-masing yang memilik tujuan untuk masa depan kami masing-masing.

Sebenarnya itu usulku, yang entah di anggap kekanak-kanakan terserah. Tetapi aku memang ingin fokus pada ujian-ujian sekolah dan masuk perguruan tinggi, tak ingin di ganggu untuk sekedar pertanyaan kenapa enggak kasih kabar yang berujung perdebatan yang akhirnya merusak mood belajar tentunya.

Pertemuan kami kali ini, aku ingin benar-benar mengakhiri hubungan kami, selain kami beda kota nantinya aku juga tak mungkin bisa kembali bersama, ini kehidupan nyata bukan hanya kisah drama yang bisa tetap menjalin hubungan dengan pria lain sedangkan dirumah memiliki suami.

Meskipun pernikahanku bisa di bilah tak selayaknya pernikahan pada umumnya, tetapi tujuannya tetap ibadah. Aku sudah dapat mendapat wejangan dari kedua orang tua ku, dan kedua orang tua mas Agam, jika ini bukan pernikahan main-main demi menyelamatkan nama baik sesat, tapi ini memang telah di atur oleh Tuhan, hanya saja dengan jalan cerita yang unik.

Pertemuan yang lancar kami hanya bertemu bedua disalah satu cafetaria yanv berada di mall tempatku bertemu dengan sahabatku, agar aku tak bolak balik di jalanan.

Sepakat kami akan menjalin silaturahmi pertemanan, berpisah dengan baik-baik, dengan alasan kami akan berpisah kota, dan tentunya akan sulit untuk menjalin hubungan jarak jauh, dengan perbedaan rutinitas, pasti akan menimbulkan konflik-konflik tentunya.

Aku tetap menyembunyikan status baru ku, belum siap rasanya semua orang tau apa yang terjadi denganku, dan selain itu ada aib yang harus kujaga.

Ya bukan kah akan malu mas Agam dan keluarganya jika tahu dia adalah pengantin lelaki yang di tinggalkan, dan selain mengasihani mas Agam orang-orang juga akan mengasihaniku, yang harus menjadi pengantin pengganti. Selain itu pernikahan dengan saudara akan banyak kontra di masyarakat.

Saat kumandang isya' aku telah memasuki rumah, ayah dan bunda yang sedang duduk di ruang keluarga memandangku marah.

"Kak, jam berapa sekarang?"

"Pamit main dari jam sepuluh pagi sampai malam baru pulang"

Tak biasanya orangtuaku akan marah seperti ini jika aku sudah pamit dengan jelas, apalagi ada Nita yang orang tuanya merupakan guru SMP ku juga, juga ada Bela yang rumahnya tak jauh dari rumah, dan orang tua kami saling mengenal, tentunya para ibu itu saling bertanya jika anak-anak mereka pamit main bersama.

"Kan udah pamit tadi, main nya juga sama Nita, Bela, Kaira"

"Tapi seharian kak"

Bunda ikut menimpali kemarahan ayah saat aku memberikan alasanku.

"Ada mas Agam dirumah, sekarang beda situasi Kak"

Aku masih berdiri menunduk saat bunda dan ayah melanjutkan unek-unek mereka sebagai orang tua, hingga mas Agam yang masuk kedalam rumah mengucapkan salam.

Sepertinya mas Agam tak ingin ikut campur akan urusan ayah dan bunda kepadaku, karena dia begitu saja melewati ruang keluarga dan masuk kedalam kamarku dan diikuti Kevin yang berada di belakangnya masuk kedalam kamarnya.

"Udah masuk sana, ajak mas Agam makan, dia nungguin kamu"

Tbc

SUCITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang