Chapter 13 - Garis Takdir

85 11 0
                                    

Silaunya matahari pagi membuat Irene mengerjapkan matanya yang terbuka sedikit demi sedikit. Perlahan ia mulai mengumpulkan kesadarannya dan membuka matanya yang masih terasa berat. Tangannya begitu terasa hangat, ia pun sudah bisa langsung menebak, tangan besar yang sedang menggenggam telapak tangannya pasti adalah milik suaminya. Dengan sekuat tenaga, ia mendudukkan tubuhnya. Benar saja, ia mendapati suaminya yang masih mengenakan setelan jasnya, menunduk tertidur di pinggiran kasur.

"Seung Wan, bangun sayang." Ujar Irene sambil mengusap lembut kepala Wendy.

Wendy pun seketika tersadar. Dengan perlahan ia meregangkan tubuhnya dan membuka matanya. Perasaan di hatinya begitu tenang, melihat siluet wajah istrinya yang terlihat sedikit buram namun tetap jelas lekuknya. Diterangi oleh sinar matahari yang menembus jendala ruang rawat inap, perlahan mata Wendy mulai menyesuaikan cahaya masuk dan akhirnya bisa melihat wajah istrinya dengan jelas.

"Bagaimana keadaanmu? Sudah jauh lebih baik?"

Irene menganggukkan kepalanya. Wendy pun mengukir senyum untuk istirnya itu.

"Kau mau sarapan sekarang?"

Irene tidak menjawab pertanyaan dari Wendy. Matanya menatap kosong ke arah kedua mata Wendy.

"Hyun?"

Wendy membalas sorot mata kosong itu. Ia berusaha memahami apa yang ingin Irene sampaikan melalui tatapan itu, hingga akhirnya semua tergambar ketika 1 kedipan mata dilakukan oleh Irene. Air mata meluncur begitu saja membasahi kedua mata Irene. Wanita itu pun langsung mengalihkan pandangannya, menjauhi wajah suaminya. Ia kini menolehkan kepalanya ke arah jendela.

"Hyun. Kau tidak ingin melihatku?"

Irene hanya menggelengkan kepalanya.

"Kalau aku sangat merindukanmu, kau tetap tidak ingin melihatku?" Ujar Wendy dengan nada selembut mungkin.

Irene hanya terdiam, tidak bereaksi. Wendy pun memegang kedua pundak Irene.

"Kita sarapan dulu, yuk. Supaya tenagamu pulih. Kau ingin cepat pulang, kan?"

Kini Irene mengembalikan posisi wajahnya, kembali menatap ke arah Wendy. Ia menganggukkan kepalanya. Wendy pun tersenyum lega sambil mengusap sisa air mata yang ada di pipi Irene.

"Aku ambilkan sarapanmu sebentar ya."

Dengan sabar Wendy menyuapi istrinya yang masih tampak lemas. Hal ini lantas mengingatkannya pada kejadian dimana Irene menyuapinya makan siang saat di rumah sakit kala itu.

"Kok bisa ya, kita gantian gini. Dulu aku kamu suapin waktu berusaha inget-inget kamu. Sekarang aku gantian nyuapin kamu, di rumah sakit juga."

Irene hanya tersenyum sambil mengunyah makanannya.

"Kalo dulu sih aku seneng banget rasanya kamu suapin. Kaya..akhirnya ya, wanita ini menyuapiku. Meski kondisi belum sadar kalau kamu pacarku ya, tapi emang ngarep banget sih waktu itu, kalo kamu pacarku yang sebenernya. Eeeh, ternyata bener."

Tidak ada sepatah kalimat pun yang terucap dari bibir Irene. Dirinya hanya menanggapi celotehan Wendy dengan senyuman lagi.

"Yang menajubkan dari semua itu adalah penilaianku soal kamu, Hyun. Kamu ga pernah terlihat tidak cantik di mataku. Even sekarang, kamu pakai baju rumah sakit, kamu tetep cantik." Wendy mengukirkan senyumannya, berharap istrinya memberi tanggapan karena kesal dipuji habis-habisan.

Namun sayang, harapan itu pupus. Irene hanya kembali tersenyum, bahkan senyumnya tak selebar sebelumnya. Justru matanya terlihat berkaca-kaca.

"Maaf.." Akhirnya sebuah kata terlontar dari mulut Irene.

The Road Sequel: Marriage v.s. Business LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang