Chapter 26 - Teka Teki

89 10 4
                                    

Kejadian tak terduga yang menimpa Wendy semalam membuat Sejeong kembali disibukkan dengan penelusuran peristiwa yang terjadi. Di sisi lain, Irene terlihat begitu lelah dan sangat sedih karena harus mendapati suaminya dilukai oleh pelaku yang saat ini belum ditemukan itu.

"Nuna, sepertinya aku tak punya pilihan lain selain memberitahu Seulgi. Aku benar-benar buntu. Orang-orangku tidak menemukan bukti apapun dari CCTV gedung tempatmu melakukan pemotretan kemarin. CCTV terakhir hanya memperlihatkan Wendy masuk ke kamar mandi yang ada di lobi, sampai akhirnya ia keluar dan menghampirimu dengan langkah yang sedikit terseok-seok."

"Apa tidak ada tangkapan gambar orang lain memasuki kamar mandi itu?"

"Tidak ada yang mencurigakan, nuna. Kami juga bingung dari mana pelakunya masuk. Rata-rata orang yang masuk ke kamar mandi di lobi itu punya waktu yang normal untuk dilakukan seseorang ketika buang air. Bahkan rata-rata dari mereka tampak tidak membawa apapun di tangannya."

"Tapi bukannya proses penusukan itu bisa dilakukan dengan cepat? Bisa saja waktunya dianggap wajar sama seperti orang buang air kan?"

"Tapi luka di wajah Seung Wan tidak bisa kita abaikan. Prediksiku dia sempat melakukan beberapa perlawanan. Tangannya juga terdapat luka, punggungnya juga sedikit ada lebam, sepertinya perkelahian itu berlalu sedikit lama, nuna."

"Apa tidak ada orang keluar masuk di periode waktu Seung Wan ada di kamar mandi?"

"Sayangnya tak ditemukan satu pun orang yang seperti itu."

"Baiklah kalau begitu, siapa tau Seulgi bisa memecahkan kode yang diberikan orang tak dikenal itu kepadaku."

Sejeong pun langsung menelpon Seulgi untuk datang ke rumah sakit pagi ini. Pria itu memilih untuk meninggalkan Irene sendirian di ruang rawat Wendy. Setelah semalam dilakukan operasi, kini Wendy masih berada dalam pengaruh obat bius. Operasi berjalan dengan lancar dan kondisi Wendy terlihat begitu baik. Untung saja dirinya langsung bisa melakukan penanganan pertama pada lukanya.

Irene menggenggam tangan Wendy yang terasa begitu dingin. Ia pandangi kuku-kuku suaminya yang sedikit pucat. Mungkin karena efek darah yang keluar begitu banyak semalam. Entah, itu hanya dugaan Irene semata.

"Seung Wan, maaf kalau bercandaanku kelewatan. Sepertinya kau tak akan menyusulku kalau aku tidak memberimu candaan seperti itu. Seharusnya aku langsung bilang saja padamu kalau aku ingin memberikan surprise di rumah. Tapi lihatlah, hal buruk malah menimpamu karena bercandaan dariku."

Irene mengusap lembut punggung tangan Wendy.

"Sayang, bangun yuk? Aku kangen deh. Ga ada hukuman kok buat kamu. Jadi bangun ya, banyak yang pengen aku tanya dan ceritain ke kamu."

Irene hanya bisa memandangi wajah suaminya yang tengah terlelap. Sesekali ia menciumi punggung tangan suaminya, berharap tangan itu akan menghangat karena sentuhan darinya. Di tengah lamunannya itu, tiba-tiba ia mendengar suara pintu diketuk.

"Ah, Seulgi. Kau sudah datang." Irene memandang ke arah Seulgi yang kini tengah menatap Wendy dengan raut datar.

Tangan Seulgi mengepal dengan kencang, rahangnya terlihat begitu penuh tekanan. Amarah tak tertahankan kini sudah benar-benar menyelimuti Seulgi.

"Nuna, apa yang membuat Seung Wan datang ke gedung pemotretanmu?"

"Aku tak tau persis, Seulgi. Tapi memang beberapa saat sebelumnya, aku sempat membuat candaan untuknya. Hanya untuk mengerjai dirinya."

"Dan dia datang kepadamu karena takut kau serius mengatakan itu semua?"

Irene terdiam begitu mendengar pertanyaan dari Seulgi yang disampaikan dengan nada yang sedikit meninggi, walaupun dengan volume suara yang sangat lirih.

The Road Sequel: Marriage v.s. Business LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang