[Perhatian, beberapa adegan di chapter ini mungkin akan membuat sebagian pembaca tidak nyaman karena mengandung unsur yang dapat menimbulkan trauma. Silahkan lewati bagian yang tidak nyaman untuk dibaca. Happy reading.]
Jam di dinding menunjukkan pukul 6. Pagi hari yang masih sedikit temaram itu sudah membuat dua wanita di kediaman Wendy terlihat sibuk. Irene bersama WanD kini tengah berkolaborasi untuk membuat sarapan mereka.
"Unnie, apakah aku melakukannya dengan benar?"
Irene mengintip sedikit ke arah panci di depan WanD, memeriksa apakah spaghetti yang dimasak wanita mungil itu sudah masak atau belum.
"That's good, aduk sesekali supaya matangnya merata ya. Sebentar lagi sausnya juga sudah siap."
"Baiklah unnie."
5 menit berselang, Irene sudah mulai mengangkat pan berisi saus carbonara untuk ia dinginkan sejenak, sembari menunggu spaghetti yang dimasak oleh WanD benar-benar matang. Tiba-tiba terdengar suara benturan antara pan dengan keramik meja dapur yang begitu kencang di telinga WanD. Sontak gadis itu langsung menengok ke arah sumber suara.
"Unniee!" WanD terlihat begitu panik saat mendapati Irene sudah tersungkur di lantai sambil memegang perutnya. Irene meringis kesakitan.
"Unniee, ada apa denganmu? Kau bisa menjawabku?" WanD terus menepuk perlahan pipi Irene yang kini dipenuhi keringat. Ia tidak mendengar jawaban apapun dari Irene dan hanya rintihan yang keluar dari bibir kakak perempuannya itu.
"Astagaaa, unnie!" WanD semakin dibuat panik karena ia melihat ada darah mengalir di betis Irene.
"Unniee, kau berdarah. Aku harus apa?" Mata WanD mulai berkaca-kaca dan hampir menitikkan air matanya.
Perlahan Irene berusaha membangun kesadarannya. Dengan lirih ia berusaha meminta bantuan kepada WanD.
"Wan, tolong ambilkan pembalutku, di laci dekat kamar mandi yang ada di dalam kamar."
"Ah iya, aku segera kembali."
Akhirnya WanD pun memapah Irene menuju kamar mandi terdekat setelah membawa sebuah pembalut. Setelah selesai memasang pembalutnya, Irene langsung keluar dari kamar mandi. WanD yang sedari tadi menggigit jarinya di depan kamar mandi itu, langsung menghampiri kakak perempuannya.
"Unnie gapapa? Unnie pucet banget ini. Kita ke rumah sakit ya?"
"Sebentar, Wan. Kayanya unnie gapapa sih. Ini udah baikan banget kok. Sebentar ya, unnie ambil menstrual pad dulu. Habis ini kita sarapan. Kamu udah bilang ke bibi kan buat lanjutin masak spaghetti kita?"
"Iya sudah, unnie."
"Yaudah, sebentar ya unnie ambil menstrual padnya dulu."
WanD mengikuti kemana Irene pergi, dan hal itu baru disadari oleh Irene ketika ia hendak memasang menstrual pad di perutnya.
"Loh, kamu kok ngebuntutin aku sih? Ya ampun, lucu banget kaya anak ayam."
"Ini kan tugasku. Unnie mau aku bantu pasang?"
"Hahaha, lucu banget kamu nih, bener-bener patuh sama Seung Wan. Boleh nih, minta tolong pasangin ya."
"Oke, maaf ya aku naikin baju unnie sedikit."
Irene pun menganggukkan kepalanya. Setelah selesai dengan urusan tempel menempel menstrual pad, keduanya kini kembali ke meja makan. Hidangan untuk sarapan sudah tersaji dengan rapi di meja makan. Keduanya pun segera menyantap sarapan mereka.
WanD tidak memutus pandangannya dari raut wajah Irene. Beberapa kali ia mendapati kakaknya meringis kesakitan, dan terlihat menahan rasa sakit itu. Merasa ada yang tidak beres, ia pun mengirim pesan kepada Pak Lee agar menyiapkan mobil. Kali ini WanD ingin menuruti instingnya, yaitu memaksa Irene untuk ke rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Road Sequel: Marriage v.s. Business Life
FanficPernikahan Joo Hyun dan Seung Wan menjadi sebuah langkah baru bagi keduanya. Berbagai tantangan telah mereka lalui sebelum perjalanan pernikahan ini dimulai. Layaknya rumah tangga pada umumnya, Seung Wan dan Joo Hyun pun tak jarang berbeda pendapat...