135. Sebagai Sebuah Mitos

91 3 0
                                    

Melihat bahwa dia terluka, Lamona memandangnya, melangkah mendekatinya sebelum sosok itu semakin brutal dalam mencoba keluar dari jala. Lamona menghentikan langkahnya, setengah berjongkok dan mencoba menurunkan suaranya dengan perlahan.

"Tengang, tolong lebih tenang. Aku ... aku tidak berbahaya."

"Aku akan membantumu, mengerti?" ucap Lamona perlahan, menunggu saat dimana sosok gadis itu menjadi lebih tenang.

Awalnya ia masih memberontak dengan keras, namun setelah beberapa lama merasakan bahwa Lamona tidak berniat buruk kepadanya dan menunggunya dengan sabar, sosok itu perlahan-lahan mengurangi gerakannya, dan tidak terlalu ganas ketika Lamona mengulurkan tangannya untuk membantunya melepaskan diri dari jala.

"Sebentar, ini akan selesai." Ucap Lamona disela gerakannya melepaskan jala dari tubuh sosok itu.

Ketika Lamona berhasil melemparkan jala kesamping, ia tertegun. Didepannya adalah sosok perempuan cantik. Dengan penampilan wajahnya yang masih muda, dia bisa dibilang adalah remaja. Gadis itu memiliki helaian surai pirang, sekilas itu nampak seperti sebuah benang platinum yang begitu indah dan menawan. Sepasang manik biru sedalam samudra itu membuat seseorang yang memandangnya bisa tersedot kedalam lautan terpesona. Kulitnya sepucat salju, nampak lebih dingin dimalam, dan sehalus sutra.

Lamona sesaat mengingat bahwa ia pernah melihat gambaran seperti itu disebuah buku yang ia pinjam dari perpustakaan desa.

Duyung.

Ada sebuah legenda mengatakan bahwa keberadaan duyung itu seperti sebuah harta bagi lautan. Laut mencintai duyung, dan duyung mencintai lautan. Kecantikan duyung adalah sebuah keistimewaan, dengan ekor menakjubkan yang dapat menciptakan ombak, dan dengan kecantikan diwajahnya yang menyesatkan. Duyung dapat menjadikan air mata mereka sebagai mutiara, sisik mereka sebagai permata, dan tawa mereka menjadi candu.

Kemudian, catatan mengatakan bahwa jika seseorang menolong duyung, dizaman dulu, manusia akan mendapatkan satu kali kesempatan untuk membuat permohonan. Kekayaan, makanan lezat, mendapatkan pasangan atau bahkan bertambah jangka usia, duyung akan mengabulkannya.

Konon katanya, mereka sudah punah ketika terjadi perang antara duyung dan manusia beberapa ribu tahun lalu, namun Lamona tidak menyangka bahwa dia bisa bertemu dengan duyung dengan mata kepalanya sendiri ketika dia bahkan meyakini bahwa duyung adalah mitos belaka!

Ia memandang Lamona dengan jejak ketakutan samar, namun tidak pernah menyembunyikan kewaspadaan dan kehati-hatian serta keganasan yang dimiliknya. "Yang ini akan sedikit menyakitkan, bertahanlah."

Lamona mengatakan itu sembari memandang tepat ke manik biru sang duyung, sebelum dengan berhati-hati mengulurkan tangannya menuju tombak.

Ia bukan yang ditusuk dan bukan dia yang merasakan sakitnya, namun Lamona sangat gugup hingga tangannya hampir gemetar ketika dia mengangkat tangannya untuk meraih tombak itu dan menariknya dengan hati-hati.

"Shii!!!"

Duyung itu meringis dengan suara nyaring, dan ekspresinya menampilkan rasa sakit yang nampak luar biasa. Lamona tahu, karena tombak nelayan memang berbeda dengan tombak biasa. Tubuh ikan secara alami licin, dan jika menggunakan tombak biasa dikhawatirkan akan tidak sengaja melepaskan ikan itu kembali. Karena itu, tombak didesain dengan dua gerigi tajam dibelakang, sebagai pengait agar menjaga tombak tetap tertancap.

Cairan berwarna putih keemasan itu semakin meluap ketika Lamona menarik tombak sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya, Lamona berhasil mencabut tombak dari ekor duyung itu. "Apakah sakit sekali?"

"Kau masih bertanya?"

"Yah, maaf ... tapi--!" Lamona tersentak, "Kau bisa bicara?"

Duyung itu menyipitkan matanya kearah Lamona, dan wajah pucatnya menampilkan ekspresi ketidakpuasan yang kentara. "Kau pikir aku bisu? Tidak sopan sekali, humph!'

Lamona tercengang dengan perkembangan yang terjadi dan dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Tidak, bukan begitu maksudnya. Aku, terkejut kau bisa bahasa manusia. Tidak, dari buku yang aku baca, bangsa duyung tidak bisa bicara bahasa manusia."

Duyung itu memutar bola matanya malas ketika dia benar-benar yakin bahwa pria didepannya sama sekali tidak berbahaya. Dia tidak perlu merasa takut, dan bahkan dengan keadaannya yang sudah terbebas, dia bisa dengan mudah mematahkan leher manusia didepannya itu. Benar, dengan sekali ayunan tangan.

Ayunan tangan.

"Oh, tunggu disini sebentar. Aku akan mencarikan tanaman yang bisa menyembuhkan lukamu disekitar sini."

Tangan duyung itu berhenti diudara ketika Lamona dengan terburu-buru berdiri, meraih sebatang kayu yang menyalakan api dan berjalan cepat menuju kedalam semak-semak untuk mencari tanaman yang dimaksudkan. Duyung itu memandang punggungnya. Penglihatan duyung sangat baik. Mereka tinggal dilautan dalam dan terbiasa dengan kegelapan, dan bahkan mereka bisa melihat dengan baik dijarak ratusan mil jauhnya ketika mereka sedang ada didalam air.

Tidak lama setelahnya, Lamona berlari menuju duyung itu dengan beberapa dedaunan yang ada ditangannya. Lamona membawa dua batu, menumpuk dedaunan itu dan menumbuknya berulang, menyusunnya dan menumbuknya kembali hingga daun itu menjadi lembut, halus dan mengeluarkan cairan hijau.

Lamona mengambilnya, dan menerapkannya pada luka disisik duyung yang cukup dalam. Duyung itu tidak mengatakan apapun meski kesakitan, dan hanya meringis sembari mengepalkan tangannya dengan kuat.

Duduk diseberangnya, Lamona memandangnya dan membuka bibirnya. "Namaku Lamona, siapa namamu?"

Duyung itu memandangnya naik turun selama beberapa waktu, nampak menilainya, sebelum mendengus dan berkata, "Asyra."

"Karena kau menolongku, aku akan mengabulkan satu keinginanmu. Katakan sekarang juga!"

Oh, Lamona pikir itu hanya karangan belaka.

Ternyata benar.

Legenda Bulan Kristal [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang