Chapter 3

19 5 0
                                    

Semenjak kejadian di kantin itu, Aditya merasa lega karena dia sudah bisa bersosialisasi di sekolahnya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Beberapa teman sekelasnya mulai mengejek dan membully Aditya. Mereka memanggilnya "Gajah" karena telinganya yang kurang mendengar, sering menjatuhkannya dengan sengaja, dan membuatnya merasa terasing.

Meskipun begitu, Aditya tetap sabar. Dia tidak ingin Davira terkena dampak dari bullying yang dialaminya, jadi dia mulai sedikit menjaga jarak dari Davira. Dia juga melarang Aaron untuk ikut campur, meskipun sahabatnya itu selalu ingin membantunya.

Beberapa hari setelah itu, saat istirahat kedua pukul 12.30, setelah selesai pelajaran olahraga, Aditya dan teman-temannya memutuskan untuk bertanding basket melawan kelas lain. Aditya sangat menguasai bola dan menunjukkan keterampilan bermain yang luar biasa. Hal ini membuat beberapa anak dari kelas lawan merasa kesal.

Saat Aditya berusaha mencetak poin, salah satu anak dari kelas lawan, Rendi, dengan sengaja menonjok Aditya di perut. Aditya terjatuh, dan perkelahian pun tak terhindarkan. Anak-anak mulai berteriak dan mendorong satu sama lain, hingga akhirnya guru pramuka, Pak Lintang, datang melerai mereka.

"Berhenti! Apa yang kalian lakukan?!" teriak Pak Lintang dengan suara lantang.

Anak-anak berhenti bertarung dan berdiri terdiam, terengah-engah. Pak Lintang memandang mereka dengan tajam. "Semua yang terlibat, ikut bapak ke tengah lapangan. Kalian akan dihukum push-up."

Aditya dan anak-anak lainnya mengikutinya dengan patuh. Di lapangan, Pak Lintang memberi mereka hukuman push-up sebagai pelajaran. Meskipun lelah dan sakit, Aditya merasa sedikit lega karena masalah ini tidak sampai ke telinga orang tuanya.

Saat mereka selesai menjalani hukuman, Aditya pergi ke sebuah taman belakang kelas, dia duduk di kursi, mengatur napasnya. Aaron datang dan duduk di sampingnya.

"Kamu baik-baik saja, Dit?" tanya Aaron khawatir.

Aditya mengangguk. "Iya, aku baik-baik saja, santai setidaknya aku gak bonyok HAHAHA."

Aaron menggaplok Aditya. "HAHAHA dasar, kamu harus memberitahu guru tentang ini. Mereka tidak boleh terus-menerus mengganggu kamu."

Aditya yang mengelus elus kepalanya dengan tersenyum tipis. "Aduh!, iya aku akan mencoba, Aaron. Terima kasih sudah selalu ada untukku."

Aaron mengangguk. "Kita sahabat, Dit. Aku akan selalu mendukungmu."

Meskipun tantangan terus berdatangan, Aditya merasa sedikit lebih kuat setiap harinya. Dengan sahabat seperti Aaron dan kehadiran Davira, dia yakin bisa melewati semua rintangan yang ada di depannya.

***

Davira yang mendengar kejadian itu langsung menghampiri Aditya, wajahnya penuh kekhawatiran. "Aditya, kamu baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Aditya merasa malu dan tidak nyaman karena mengalami kejadian memalukan itu di depan Davira. "Aku baik-baik saja, Davira. Tidak perlu khawatir."

Davira menggeleng, terlihat tidak yakin. "Aku benar-benar khawatir, Aditya. Mereka tidak boleh memperlakukanmu seperti ini."

Aditya mengalihkan pandangannya, tidak ingin melihat rasa iba di mata Davira. "Aku bisa mengatasinya sendiri, Davira. Terima kasih sudah peduli padaku."

Aditya semakin yakin untuk menjauhi Davira sementara waktu. Meskipun dia sangat menyukai Davira, dia tidak ingin gadis itu terkena dampak dari bully yang dialaminya. Beberapa minggu berikutnya, Aditya berusaha sebisa mungkin menghindari Davira, meskipun hatinya terasa sakit setiap kali melihatnya dari kejauhan.

pulang dari kejadian perkelahian basket, Aditya memasuki rumah. Ibunya segera menghampirinya untuk menanyakan kabar harinya.

"Aditya, gimana hari ini? Lancar belajarnya?" tanya ibunya dengan senyum hangat.

Aditya menunduk, mencoba menyembunyikan luka lecet di pipinya. Namun, ibunya melihat apa yang disembunyikan olehnya.

"Aditya, apa yang terjadi? Kenapa pipimu lecet?" tanya ibunya dengan nada khawatir, sambil memegang pipi Aditya dengan lembut.

Aditya menghela napas, merasa tak bisa lagi menyembunyikan apa yang telah terjadi. "Tadi ada sedikit masalah di sekolah, Bu. Tapi aku baik-baik saja, tidak perlu khawatir."

Ibunya menarik Aditya untuk duduk di kursi dekat meja makan. "Ceritakan pada Ibu, nak. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Dengan perlahan, Aditya menceritakan kejadian perkelahian basket dan bagaimana ia dihukum push-up bersama teman-teman yang terlibat. Ibunya mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya penuh rasa iba dan kekhawatiran.

"Aditya, kamu tidak perlu menanggung semua ini sendirian. Ibu akan berbicara dengan gurumu. Kita harus menemukan solusi agar kamu tidak terus-menerus dibully," ujar ibunya dengan tegas.

Namun, Aditya tidak setuju dengan perkataan ibunya. "Tapi aku malu, Bu, karena malah Ibu yang akan berbicara pada guru wali kelas."

Ibunya menghela napas dan menjawab, "Yasudah kalau memang itu maumu. Tapi Ibu hanya memberi dua pilihan. Pertama, kamu minta bantuan Ibu untuk berbicara dengan wali kelasmu, atau kedua, kamu lawan mereka ataupun cari cara agar bisa lepas dari bully, asalkan dengan cara yang baik dan sopan."

Aditya terdiam sejenak, merenungkan kata-kata ibunya. Dia tahu bahwa ibunya benar, dan sekarang dia harus membuat keputusan yang bijaksana untuk mengakhiri penderitaannya.

---
Maaf guys, sedikit revisi



















Shades Of GreyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang